*Daun akan menemukan akhir dan jatuh di tengah terik panas yang membakar, luruh meninggalkan Asa terkulai oleh keringnya dahaga.*
**********************************
Happy reading Sun'sans !**********************************
Di bawah kilau sorot mentari Langkah Arman menderu dengan jantung yang bertalu riak, dengan penuh harap di dampingi satu orang pengacara dan empat putranya, berjalan menyusuri lorong bersambut desiran angin sepoy
nan menusuk tulang dan pori-pori wajahnya yang kini mulai menegang akibat secuil rasa gelisah yang
saling bergelut dalam dada, akan menantinya sebuah keputusan pengadilan dari nasib putra tengah yang dia cintai.Penuh dada mereka di hiasi jutaan macam kegelisahan, akan kah ini membawa akhir yang baik ataukah sebuah awal dari perpisahan panjang ? Entahlah... Yang pasti hati mereka sedang bergemuruh oleh jutaan harap berselimut nelangsa.
Kini mereka sudah di depan pintu ruang sidang, tapi sang pembela lebih dulu memberikan pengarahan, sebelum pintu terbuka dan mereka memasuki Ruangan.
"Nanti sepanjang persidangan,
jika pihak Jaksa memberikan pernyataan, jangan pernah coba membantah atau pun mematahkan argumennya. Lebih banyak diam akan jauh lebih baik dampaknya untuk Hasan nanti, paham ?" Instruksi Sang pengacara pada Arman dan empat pemuda di belakangnya.
Memberi peringatan kecil agar proses
Persidangan sesuai dengan harapan.Zain si bungsu mengkerut kening bingung dengan maksud kalimat
sang pembela, hati nya sedikit merasa janggal akan arti pernyataan itu.
Tapi ia memilih menyimpan intuisinya, enggan untuk mengambil pusing saat moment besar akan segera di mulai, bukan waktu
yang tepat untuk dia memberikan pendapat. Arman yang sudah mengangguk patuh dengan arahan sang pembela cuma bisa berpasrah disertai baik sangka dan seutas doa untuk kebebasan si anak tengah, tanpa ada sedikit pun kecurigaan.Mereka pun berjalan melewati pintu yang sudah para penjaga buka, di awali tarikan napas panjang, Arman dan putra-putra nya sudah sejak tadi mengatur napas mempersiapkan mental sekaligus mengikis rasa tegang dalam dada kala bersiap lalui jalan persidangan yang siap tentukan masa depan sang kakak.
"Hufh.. Bismillahirrahmanirrahim." Lirih Arman.
Ariel sempat mengulas senyum untuk meruntuhkan kegelisahan sang Ayah, di belakang nya Zain mengeratkan genggaman pada pegangan kendali kursi roda Ariel dan mendorong pelan, melangkah maju, singkirkan segala takut dan ragu yang lama membebani pundak mereka.
Satu persatu kursi di ruang sidang mulai di isi pemiliknya. Mulai dari jaksa, kuasa hukum, dan para pengunjung yang siap menyaksikan jalannya persidangan terkecuali kursi Hakim juga terpidana.
Sesekali manik remaja itu mengedar legam, menantikan dengan cemas dengan tidak sabar ingin melihat wajah kakak yang dia cintai bisa segera nampak di hadapan mereka.
Raihan bahkan sudah mulai mengecek jarum jam arloji di tangan kirinya. "Udah setengah jam kita masuk kenapa Bang Hasan masih belum keluar ?" Bisik Zain pada Ariel.
"Sebentar lagi dek, Jangan lupa berdoa supaya semuanya lancar. " Sahut Doni menepuk pundak si adik dari belakang.
Angguk Zain mantap. "Semuanya mohon di harap tenang dan tidak meninggalkan tempat duduk, sebab Persidangan akan segera di mulai " peringat penjaga.
Usai instruksi itu di lontarkan,
Hasan keluar dari pintu sudut kanan di dampingi seorang sipir. Muka pemuda itu begitu kusam, dia tertunduk dengan tatapan kosong.
Tak menampakan sedikit pun semangat Hidup , berjalan menuju mejanya. "Hasan... !" suara Ariel memekik pun membangunkan Separuh jiwa nya yang sejak tadi melayang. Hasan menengadah menatap wajah orang-orang terkasihnya kini mendampinginya.
Maniknya membesar menatap penuh hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]
Narrativa generale"Dimana keadilan yang kalian janjikan?" Jangankan memenuhi janji itu, sekedar mendengar saja. Kalian enggan!" Seorang pemuda berjalan terseok di tengah terik matahari sambil membawa sepanduk bertuliskan keluhannya. "Bebaskan Hasan prakasa putra, K...