38.🍁 Cidera hati.🍁

99 15 0
                                    


'Doni  Purnama Putra'

*Aku yang tak sempurna, terbiasa berteman keheningan, bergeming di tengah bising semesta, memalingkan Rasa dari keterikatan nelangsa.*

***************************

Happy reading Sun'sans!

*****************************

Untuk kesekian kalinya Doni cuma bisa  menahan kesal, saat Adik bungsunya kembali membolos dengan Alasan sakit, Hatinya luar biasa  berisik, sibuk Komat-kamit mencibir kelakuan  remaja di depannya, sedang asyik melahap nasi goreng yang dia buat, dengan wajah tanpa rasa bersalah.

Sendok di tangan pun dia taruh kasar,
Sampai menimbulkan suara yang nyaring, karna terlampau dongkol, Dia tidak bisa luapkan  amarahnya pada  Zain, sebab memang pada kenyataannya Sang adik Sakit parah, tapi sekarang bukankah badannya  sudah dalam kondisi stabil (?)  untuk hari ini Doni berharap adiknya bisa kesampingkan segala alasan lain dan mengutamakan tanggung jawabnya dalam sekolah.

Mau sampai kapan (?) dia mengurung diri di rumah, dengan alasan yang sama, hanya demi pelarian, akan jahat nya dunia yang tidak lagi bersahabat.

dua pasang mata kini sudah bergulir, menoleh penuh Atensi pada  ia
yang beranjak dari tempat duduk.

Adik pertama dan Si bontot saling melempar tatapan  penuh Arti, Keduanya menangkap sinyal kemarahan Doni, Raihan membulat kan mata nya pada Zain, sambil memiringkan kepala ke arah jam tiga di mana Sang kakak berdiri sekarang.

Zain memahami kerlingan mata Raihan sebagai perintah bahwa dirinya harus segera beralibi atau
Melakukan sesuatu untuk meredakan
Kekesalan di hati Abang mereka.

"Hmmph, gak mau.... " berucapnya sambil menggeleng kepala.

"Kenapa ?" Raihan mengangkat dagunya.

"Takut. " Bisik  penuh ciut.

Raihan menurunkan bahunya
jengah, sambil menggaruk kepala. Belakangnya frustasi.

"Ck, eargh! Kalo bukan adek, udah gue toyor tuh kepala, besar doang, isinya gak ada. !" Desak Raihan dengan sedikit geram, berhasil buat adiknya cemberut Zain.

Raihan beranjak dari kursinya menghampiri Doni yang tengah menaruh Piring sarapannya di  wastafel, Tanpa kedua adiknya ketahui, Air mata  sang kakak telah
Jatuh dan membasahi pipinya,selepas ia berbalik dan menjauh dari hadapan keduanya sejak tadi.

Ada begitu banyak kegelisahan dan kesakitan yang memenuhi, sekaligus berkecamuk dalam kepala, juga hatinya yang tidak bisa dia tunjukan.

Jujur, Doni bukan tidak mengerti
apa yang Zain alami, jauh dari pada siapapun, dia lah yang orang paling mengerti rasanya di cemooh dan
dirundung oleh teman sekolah, dicaci- maki, di remehkan, dan dikucilkan.

Raihan menepuk bahu lelaki itu,
Ingin sekedar menegur, untunglah sebelum itu, ia berhasil menyeka air matanya terlebih dahulu.

"Bang ...." Tegurnya.

"Kenapa lagi, !" ketus Doni.

Melihat balasan yang tidak ramah, tujuan semulanya  untuk bocorkan ide kejutan yang Zain lakukan, akhirnya dia urungkan, suasana hati Doni sungguh sedang tidak baik, akan lebih aman jika membiarkan kegusarannya mereda.

"Kenapa, hah! Mau ngomong apa lagi loe, mau belain Adek kesayangan lu itu, hmm?" Cerocosnya.

"Gak! Suka su'udzon elu mah Bang, gue mau kasih tahu doang, Kalo bisa jangan pulang malam. "

L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang