🍁pemuda terantai🍁

125 14 8
                                    

*Daun berjatuhan dari pohon harapan, tersapu Angin gugur menyisakan kemarau, meninggalkan Lirih nadi berpeluk duri.

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Happy reading Sun'sans!

🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁

Teduh, itu yang tengah Raihan rasakan kala matanya menatap lamat wajah lelah Zain yang kini tertidur pulas. Hati Ray yang semula teriris sembilu akan mental Adik yang siang tadi terguncang hebat, dan berhasil menjejakkan sesak yang amat mencekik di kerongkongan nya, sekarang perlahan terkikis dan membaik, usai ia bawa sang adik, Pada psikolog yang sempat Yosi rekomendasikan.

Bocah itu baru tertidur dua jam yang lalu, sepulang dari klinik kejiwaan.
Psikiater itu memberi adiknya obat penenang sampai akhirnya ia bisa terlelap seperti sekarang.

Dada lelaki dua puluhan itu
jauh lebih lapang dibandingkan sebelumnya, tidak ingin ia beranjak dan tinggalkan lagi adiknya jauh
dari jarak pandangan. Raihan tidak
mau dan tak akan lagi sanggup jika Zain harus terbangun tanpa menemukan siapapun di sisinya,
Dan kembali mendapati mental adiknya dalam keadaan kacau.

"Dek... Sembuh yah, jangan melupakan Abang kaya tadi. Dada Abang sakit kalau kamu tidak melihat kehadiran dan bahkan kenali suara Abang seperti tadi siang" lirih Raihan utuh mengusap lembut puncak kepala Zain.

"Abang tidak sanggup jika hidup tanpa senyuman kamu Zain, sinar dua pilar di rumah ini sudah redup, kalo sampai sinar kamu ikut ilang,
bagaimana caranya Bang Rai bertahan Dek, kamu kekuatan kami yang tersisa, tolong jangan menyerah,
Kamu boleh menopang lelah di bahu bang Rai kapanpun kamu mau, tapi jangan memilih untuk hilang, Abang belum siap dan tak akan pernah bisa siap, setidaknya untuk sekarang jangan pergi atau pun meninggalkan Abang." tumpah sudah isi hatinya dia jatuhkan dalam rengkuhan hangat yang ia salurkan pada tubuh si bungsu.

Entah ucapannya itu terdengar atau tidak, Raihan harap semua yang telah terjadi pada lima pilar adalah mimpi belaka dan kisah mereka bisa indah seperti sedia kala.

Dibalik dekapan itu, manik hitam Zain mulai terkerjap dan mulai merasakan nikmatnya hangat erat peluk yang kakaknya suguhkan.

"Adek gak kemana-mana, maaf udah buat Abang kesakitan." gemuruh batin Zain

Sepasang mata hanya mencuri moment dari balik pintu luar, tanpa ada sedikit pun niat untuk masuk ataupun ikut serta, dan menunjukan kehadiran ia pada saudaranya.

Doni kembali menutup pintu kamar Zain dan memilih menyeret kaki
ia menuju ruang tengah, sambil menjatuhkan tubuhnya bersandar pada punggung sofa, terdengar hembusan napas kasar itu meluncur begitu saja menyebar bebas di udara.

"Raihan-Raihan... mudah ya ngomong gitu sama Zain, tapi nyatanya Ello ajah gak pernah lakuin itu, loe gak pernah pinjem bahu gue buat bagi beban lu, apa alasan kalian untuk tidak jadikan gue tempat bersandar, apa Abang terlampau lemah, sampai kalian enggan berbagi resah dan bertukar cerita." gumam nya dalam keheningan.

Prangg....

Melonjak Doni dari kursinya dikejutkan oleh botol berisi sumbu menyala, yang dilempar orang tak dikenal, benda itu sudah menembusi jendela rumah, sampai berlubang dan meninggalkan banyak pecahan kaca yang berhamburan dilantai.

L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang