💐* Gejolak orasi penuh euforia sekedar Celotehan tak bermakna, bagi para pemegang lencana berlogo Setia atas Negara, nyatanya Yang mereka dengar sekedar Permainan mengasyikan penuh peruntungan semata.
Ketika Nilai, empati tak lagi disegani, sisi manusiawi pun dipertanyakan. 🍁
🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Ayah mana yang tak tercekat batinnya, ketika mendengar kabar duka akan musibah yang menimpa buah hati.
Sepanjang perjalanan menuju Rumah sakit, kaki Pria dewasa tegap dan kokoh itu terhuyung beberapa kali, pikirannya melayang entah kemana, tak lelah menggumamkan doa untuk Bocah kebanggaannya."Mana Zain ...?" Luruh Arman dengan manik yang penuh harap.
"Di sana Ayah ..." Raihan menunjuk ke arah Balik dinding kaca, dengan netra nanar. Menoleh Ayah pada dinding Netral itu.
Mata coklatnya berhasil menangkap muka pucat sang putra, tumpuan harapannya. Pria dengan wajah
tegas dan Kuat pun Rubuhkan segala pertahanannya. Langkah terseret, mendekati pintu menerobos dan memecah keheningan dengan tangis penuh Sesal. Merasa gagal sebagai orang tua yang baik untuk si kecil."Ya Allah nak ..." Bergetar suara Arman membelai rambut hitam pekat Zain.
Jemari pun mulai menggenggam erat tangan Si bungsu."Astagfirullahal adzim, apa yang Kamu alami sampai seperti ini Zain?" Lekat edar irisnya tatap getir Bocah kerempeng didepannya.
"Ayah ..." Tegur Doni menepuk pundak Arman, membuat kepala keluarga itu menoleh pada Si sulung.
Kilatan tajam dari sorot mata Arman berhasil menusuk batin Doni juga Raihan, kedua saudara itu langsung menundukan kepala, mereka mengerti arti tatapan sinis itu. Tanda bahwa Sang Ayah ada dipuncak kemarahannya.
Arman beranjak dari kursinya sambil menghadap pada Doni.
"Soal Za-Zain, a-adek, " keluh mulutnya berucap ingin menjelaskan apa yang terjadi.
Namun Dalam hitungan Detik Tangan kekar itu melayang dan berhasil hantarkan panas pada pipi Doni, Raihan tercekat, biasanya sebesar apapun kemarahannya Arman tak pernah sampai main tangan. Tapi, Ini pertama kalinya Dia melihat amukan sang Ayah.
"Ini, bukti tanggung jawabmu sebagai anak tertua Doni! Begini caramu menjaga adik-adikmu hah?!" Arman menyudutkan putranya tanpa sedikit pun iba.
"Ma-maafin Doni Yah ..." Keluh bibirnya,
Raihan menatap Iba ketika Arman melampiaskan segala tuntutan juga kesalahan pada si sulung, Lontaran penuh Angkara dan kalimat menusuk kini teruntai dari Arman, bahkan tak hanya pada Doni, tapi juga Raihan, Mereka hanya membisu tertunduk dalam sesal juga pasrah.
"Ayah, ini bukan sepenuhnya kesalahan Bang Doni ...." Lirih Raihan tak tega pada Sang kakak.
"Diam kamu Ray, kalian semua Salah!" Pekik Arman mulai menyentuh dada kirinya, merasa terhentak. Lagi dua saudara Itu tercekat.
"Ay-Ayah tolong tenang dulu ... " Lirih si adik.
alih-alih membela diri, Raihan tak mau Sakit jantung Ayahnya kambuh dan semakin parah. Sikap siaga membuat dia terpaksa harus bersikap tak sopan dengan menyela ucapan sang Ayah yang terus memekik dengan kalimat penuh hardik.
"Apa sesibuk itu kalian sampai tak bisa jaga Zain? Kalian sampai kecolongan begini, Hah!" Kalap Arman dengan napas yang mulai tertahan.
"Ayah cuma minta tolong sedikit, kalau kalian keberatan atas permintaan Ayah bilang! Sepenting apa sih karier kalian, Hah?" Sarkas Arman.
"Bu-bukan gitu Yah, tenang dulu, Ray cuma gak mau dada Ayah nanti sakit." Geleng Doni mengelak.
"Oh, apa karna kalian merasa terganggu? tolong tahan sebentar, toh Lelaki tua ini, sebentar lagi juga mati! Setelah itu kalian tak perlu merasa terbebani lagi. Dan bebas lakukan apapun yang kalian inginkan" Tandas sang Ayah.
KAMU SEDANG MEMBACA
L-E-N-T-E-R-A "Lima Simbol Sakral" [End]
Ficção Geral"Dimana keadilan yang kalian janjikan?" Jangankan memenuhi janji itu, sekedar mendengar saja. Kalian enggan!" Seorang pemuda berjalan terseok di tengah terik matahari sambil membawa sepanduk bertuliskan keluhannya. "Bebaskan Hasan prakasa putra, K...