Anjelly Stephanie Loman atau biasa dipanggil Jelly. Anjelly atau Jelly, sosok yang terbiasa melakukan semuanya sendiri, hidup mandiri dengan hasil kerja kerasnya selama ini. Ditinggal orangtua yang sudah lama berpisah dan tinggal bersama oma opanya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sejak kemarin, Margo mengisi akhir minggu bersama keluarganya—seperti yang dianjurkan psikolognya dulu—bila ia sedang tak ada pekerjaan saat itu. Dari jalan jalan ke Bandung, ke kebun, ke puncak bersama orangtuanya, menemani keponakannya bermain sementara kakaknya menikmati waktu berdua bersama kakak iparnya—suami kakaknya, sampai menemani mamanya belanja atau sekadar mengantar mengikuti arisan. Semuanya ia lakukan agar pikiran serta emosinya bisa teralihkan. Dan, voila! anjuran yang awalnya memberatkan itu malah menjadi kebiasaannya selama beberapa tahun ini.
Walau ada diwaktu waktu tertentu ia masih sempat teringat akan sosok Olivia yang tak pernah absen mengikuti agenda keluarga Margo, tapi ia selalu berhasil menghalau rasa tersebut. Meyakinkan dirinya bahwa ia ingin sembuh dari perasaan kehilangan itu, ia ingin menolong dirinya sendiri, ia tak mau terjebak di masa kelam itu. Ia punya hidup yang harus ia teruskan.
Seperti sore ini, dibawah langit yang mulai menggelap, Pria berumur 35 tahun itu menghabiskan detik detik akhir minggunya dengan early dinner di JimBARAN Lounge. Di sebuah restoran yang mengusung konsep unite with nature. Dengan sepiring steak di depannya dan berbagai menu yang memenuhi meja, Margo berbincang panjang dengan Papa dan Mamanya, yang sesekali disahuti Marisha, Kakak Margo—yang sedang ditinggal sang Suami perjalanan dinas ke NTT.
"Mar, kamu apa gak mau ngenalin seseorang gitu ke Mama?" celetuk Diana.
"Seseorang siapa, Ma?"
Diana menghela nafas panjangnya, menatap Margo yang kelihatan begitu santai. "Nak, ini sudah 6 tahun sejak kepergian Olivia, kamu gak berniat melajang seumur hidup, kan?"
"Gak kok, Ma" balas Margo santai, sudah terlalu terbiasa dengan topik ini.
"Kalau gitu, kapan nih ngenalin pacarnya?" tak mau kalah, sang Kakak, Marisha pun ikut menyahuti Margo.
"Belum punya pacar gue, Rish"
"Kok belum punya, sih? Kamu kan sudah sempurna begini. Mapan, tampan, cakap, pintar, uang ada, masa gak ada yang mau sama anak mama?" Diana menyembur protesnya.
"Bukan gitu, Ma. Emang belum ada yang cocok aja" bohong Margo, walau sebetulnya selama ini dirinya lah masalahnya, dia yang tidak tertarik mencari yang baru. Tidak ada niatnya untuk bergerak mendekat, Saat ditanya apa Margo punya niat mencari yang baru di sesi sesi terakhir konsultasinya oleh psikolognya, Margo mengiyakan pertanyaan tersebut.
"Begitu ya? Mau mama kenalkan sama anak anak teman Mama saja? Mereka muda sih, tapi umurnya gak jauh dari kamu kok, Nak. Rata rata diatas 25 ada juga yang udah masuk 30-an, jadi jaraknya pun gak jauh jauh dari kamu"
Baru saja ingin menjawab tawaran sang Mama, Halim—Papa Margo—sudah lebih dulu mengambil alih jawaban Margo, "Sudahlah Ma, jangan diburu buru begitu Margo-nya. Biarkan dia mencari sendiri. Dia yang tau dirinya butuh sosok seperti apa, maunya seperti apa. Lagian, kayak Margo tidak laku saja pakai kamu jodoh-jodohin begitu"