Di dalam kamar yang semakin gelap karena awan yang menutupi matahari, Aleo merasa seakan-akan dunia luar telah berhenti. Ponsel yang terus berdering menjadi seperti bunyi kejauhan yang tak bisa mencapai hatinya. Adiknya yang memanggilnya dengan penuh kekhawatiran pun terdengar seolah dari dunia lain.
Aleo masih memeluk kedua kakinya erat-erat, mencoba mencari kenyamanan dalam pelukan sendiri. Dia merasakan getaran perasaan yang rumit. Ada kelegaan dalam mengungkapkan isi hatinya kepada ibunya, tapi juga ada luka yang tumbuh di dalam dirinya. Sejenak, dia merenung pada keputusan-keputusan yang telah diambilnya dan apakah itu benar-benar membawanya menuju kebahagiaan atau kesedihan yang lebih dalam.
Ucapan Kayla terus memenuhi benak Aleo, seperti mantra yang terus berulang. Terdesak oleh gelombang emosi yang kuat, pemuda itu mulai mengguncangkan dirinya sendiri, mencoba mengusir suara-suara yang menghantui pikirannya.
Ada kelegaan dalam mengungkapkan isi hatinya kepada ibunya, tetapi juga ada luka yang tumbuh di dalam dirinya. Sejenak, dia merenung pada keputusan-keputusan yang telah diambilnya dan apakah itu benar-benar membawanya menuju kebahagiaan atau kesedihan yang lebih dalam.
Setelah momen yang penuh keputusasaan, Aleo tiba-tiba mendengar jeritan adiknya dari luar kamar, yang terus memanggil namanya. Ini adalah panggilan untuk kembali ke realitas. Aleo sadar bahwa dia tidak boleh terperangkap dalam gelombang emosinya sendiri. Dia mencoba menahan air mata dan merapikan dirinya, berusaha tampak sebaik mungkin.
Dengan langkah ragu, dia mendekati pintu dan membukanya perlahan, berusaha menyembunyikan penderitaannya dari adiknya yang penuh perhatian.
"Abang! Dari tadi dipanggilin, Kia disuruh papah buat jemput abang," teriak Azkia dengan nada khawatir saat Aleo membuka pintu.
Aleo terkejut oleh kabar tersebut dan menatap Azkia dengan kebingungan yang jelas terpancar dimatanya. Dia mengikuti Azkia menuju ruang kerja Dani, tempat orang tuanya telah berkumpul.
Di sana, Aleo tahu bahwa kedua orang tuanya ada di sana. Aleo bisa merasakan tatapan sinis yang tajam dari Kayla. Suasana ruangan terasa tegang, dan Aleo hanya bisa diam, mencoba menangkap percakapan yang sedang berlangsung di antara mereka.
"Ngapain sih kamu bawa dia? Enggak perlu, dia cuma nyusahin aja Mas." Mendengar ketidaksukaan Kayla yang tertuju untuk Aleo, Dani segera menatap tajam sang istri. Dani hanya tidak mau Azkia tahu bahwa kakak laki-lakinya dibenci oleh ibunya sendiri.
"Azkia bisa tolong ambilkan map warnah hijau, dua ya, Nak?" Azkia yang tadi mengobrol dengan Aleo mengalihkan perhatiannya, gadis kecil itu mengangguk dan mulai mencari map yang dimaksud oleh ayahnya.
Setelah dirasa Azkia jauh sedikit jauh dari mereka, Dani dengan segera menghela napasnya. Dirinya tahu bahwa tadi istrinya kembali meluapkan emosi pada Aleo, bahkan mungkin meneriaki dengan kata-kata yang kurang pantas untuk didengar.
"Kalian ini kenapa sebenernya? Tidak bisakah kalian seperti dulu? Menjadi ibu dan anak yang begitu manis?"
Kayla mendengus kesal, menjadi ibu dan anak yang manis? Melihat wajah Aleo sekarang saja sudah membuatnya kesal apa lagi seperti dulu. Sedangkan Aleo hanya bisa terdiam, dari pada ia bertengkar hanya karena menjawab pertanyaan Dani dan membuat Kayla kembali menyangkal dengan perkataan yang cukup membuatnya sakit hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALEONA [ TERBIT ]
Teen FictionPART MASIH LENGKAP! BELUM DIREVISI Follow dulu jangan lupa. *** "Saya hanyalah manusia tangguh yang tak sempurna, tapi bersamamu ketidaksempurnaan itu menjadi berwarna." Aleo Kertagama, seorang remaja lelaki yang memiliki banyak kekurangan, salah s...