10. Memulai Perang

115 23 0
                                    

Selapas makan malam aku menghabiskan waktuku di ruangan tempat Lim dirawat ditemani Kamal. Tidak banyak hal yang aku lakukan, hanya duduk di samping brankar sambil menatap Lim dengan sedih. Namun mengingat aku tidak tidur sejak malam kemari, mataku sungguh berat. Alhasil malam itu aku ketiduran. Aku duduk tertidur di samping brankar.

Aku terbangun pada tengah malam. Saat itu aku merasa tubuhku benar-benar pegal setelah sadar kalau aku tertidur dalam posisi yang kurang nyaman. Aku menoleh ke sekeliling memperhatikan sekitar, aku sudah tidak menemui Kamal. Mungkin sahabatku itu sudah kembali ke kamar yang telah disiapkan.

Aku bangkit dan mengecup kening Lim. "Aku pergi dulu, ya. Kamu di sini sendiri dulu."

Aku lalu mulai melangkahkan kaki beranjak dari sana. Aku menarik pintu dengan perlahan, lalu keluar dari ruangan itu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari seseorang. Namun nyatanya aku sendiri, tidak ada Tentara Kedua yang berjaga di sekitaran ruangan ini. Beberapa lampu sudah dimatikan membuat suasana remang-remang.

"Elok."

Aku menoleh ke belakang saat di tengah koridor ketika mendengar ada yang memanggil. Namun saat aku menoleh, aku tidak melihat seorang pun. Aku pikir aku salah dengar, akupun melanjutkan jalanku untuk sampai di kamar. Namun baru tiga langkah, sebuah suara kembali terdengar memanggilku.

Aku kembali menoleh. "Siapa?"

Aku menoleh ke sekeliling, namun sudah aku pastikan tidak ada seorang pun di sini. "Ada orang di sini?"

Kembali tidak ada jawaban, membuatku kembali menoleh ke depan. Namun belum sempat aku melangkah, aku dikejutkan dengan sosok putih di ujung lorong sana. Aku menajamkan pandangan di tengah kegelapan, berusaha melihat siapa itu. Tubuhnya tinggi, dia seorang pria, namun wajahny tertutupi keremangan malam.

"Ramzi, itu kamu?" tanyaku.

Aku tahu itu bukan Ramzi, apalagi saat dia mulai berjalan mendekat. Perlahan tapi pasti aku bisa melihat wajah pria berjubah putih itu. Dan saat beberap langkah lagi dia akan sampai, aku menyadari kalau pria tersebut adalah salah satu penyihir yang menyerangku dan Nadia saat berada si rumah makan kemarin.

"Apa kabar, Elok?"

Dengan senyumnya yang menyeringai, dia meraih tanganku. "Sekarang ikut denganku."

Melihat wajahnya aku marah, mengingat apa yang telah dia lakukan aku marah. Dengan sekuat tenaga aku menghempaskan tangannya, lalu dengan penuh keberanian aku menendang area bawahnya. Di berteriak, lalu jatuh terduduk sambil memegangi kemaluannya yang baru aku tendang. Aku segera melangkah mundur, lalu berbalik untuk berlari.

Dari depan aku mendengar dia berkata di belakang, "Kamu pikir, kamu bisa lari dariku?"

Setelah dia mengatakan itu, aku merasakan ada angin yang menabrak tubuhku dari deban. Alhasil tubuhku terpental ke balakng, lalu jatuh tepat di hadapan si Penyihir Angin itu.

Dia masih menyeringai, menatapku yang berada di bawahnya. "Jika tahu Sang Malam menginginkanmu, harusnya aku menangkapmu juga kemarin. Jadi—"

"Berani kamu menyentuhnya, jangan harap bisa melihat hari esok."

Seseorang memotong perkataan si Penyihir Angin itu. Akupun menoleh, menatap seseorang dengan balutan piyama hitam yang menatap marah ke arah Penyihir Angin. Sunar, dia yang berada di sana. Dengan langkahnya yang yakin, Sunar mendekati kami berdua.

Aku dapat melihat kepanikan di wajah Penyihir Angin itu. Lalu dengan keringat di pelipisnya, si Penyihir Angin itu memutar-mutar tangannya. Aku melihat angin mulai berhembus kencang, aku itu berputar-putar di tangan si penyihir. Lalu dengan hentakan kuat, Penyihir Angin itu melemparkan gelombang angin buatannya ke arah Sunar.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang