3. Melarikan Diri

26 4 0
                                    

Aku memang tidak menyukai Harsa dan Hiraeth, tapi aku tidak pernah berpikir kalau pria itu bersekongkol untuk menyerahkanku pada Safina. Aku, Kamal, Nadia dan semua orang tahu siapa wanita itu. Safina adalah orang yang berbahaya, seorang Penyihir Air yang bekerja untuk Sang Malam.

Tidak ada bedanya Safina dengan Sang Malam, mereka sama-sama kejam dan licik. Malah, kini aku dipertemukan oleh orang licik lainnya yang kini menangkap aku dan teman-temanku. Sekarang aku dihadapkan oleh dua penjahat yang sangat aku ingin singkirkan, Safina dan Harsa.

"Jadi... kalian berdua benar-benar bersekongkol untuk ini?" tanyaku dengan wajah menahan kesal.

Aku menoleh ke arah Harsa, dia bersandar di batu sambil melipat tangannya. "Sebenarnya tidak juga. Aku dan Safina sudah kenal lama, dia berasal dari Desa Sukacita sama sepertiku," katanya.

"Aku bahkan bingung bagaimana caranya merespon semua ini. Pantas saja kalian bisa berteman, kalian memiliki banyak persamaan." Aku terkekeh miris.

"Kami tidak berteman, kami hanya saling mengenal," ujar Harsa. "Safina meninggalkan desa ini sepuluh tahun lalu, lalu dia kembali untuk pertama kalinya setelah sekian lama."

Aku kini menatap Safina di depan sana. "Aku paham sekarang. Kamu melarikan diri setelah Sang Malam tewas dan pergi ke tempat ini untuk mencari perlindungan?"

"Tidak," ujarnya. "Untuk apa aku mencari perlindungan? Aku tahu Hiraeth dan Desa Sukacita tidak ingin ikut campur dengan segala masalah yang terjadi di permukaan, apalagi untuk menangkapmu. Jadi, bukan itu niatku."

Aku hanya tertawa. "Apapun itu, aku tidak akan pernah menuruti perkataanmu, Safina."

Tubuhku masih tidak bisa bergerak saat itu karena Harsa masih mengunci ragaku. Aku hanya bisa menggerakkan mulut dan mataku.

"Kamu harus menurutiku, Elok. Kali ini saja."

Aku tersenyum miring. "Harusnya kamu tidak usah heran kenapa aku tidak mau. Karena kamu adalah orang kepercayaan Sang Malam yang ikut adil menghancurkan negera ini dan rumahku!"

Safina diam sejenak, terlihat berpikir untuk mengucapkan perkataan selanjutnya. Pelan-pelan, dia mengucapkan kata demi kata, "Aku... telah berubah. Percaya atau tidak, aku tidak mengabdi lagi pada Sang Malam."

Wanita itu diam sejenak, terlihat berat untuk mengatakan hal selanjutnya. "Aku memang tidak mencintai negeri ini, aku tidak mencintai para petinggi dan rakyatnya, namun... sekarang bukan tentang semua kebencian itu, ini tentang kita semua."

Safina maju mendekatiku. "Sekarang manusia dan Penyihir harus bersatu karena kegelapan mulai menghampiri satu-persatu dari kita."

Aku dibuat tertawa dengan lelucon ini. "Apakah ini semacam lelucon? Dengar, aku bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi dan iming-imingi. Aku—"

"Safina bisa membantumu menghancurkan tabir bayangan di Ibu Kota dan Gunung Virama," potong Harsa. "Dan, mahluk di dalamnya yang kini telah berkeliaran."

Aku terdiam cukup lama saat Harsa mengatakan itu.

"Aku bisa membantumu, Elok," ujar Safina. "Setidaknya, sedikit. Kamu ingat saat kekuatanmu muncul di Ibu Kota ketika mahluk-mahluk bayangan berniat menyakitimu? Aku bisa membantumu memunculkan kekuatan itu."

Melihatku hanya diam, akhirnya Safina mendekat ke arahku sambil berkata pada Harsa, "Lepaskan saja, biarkan Elok berpikir dengan leluasa."

Harsa menghela napas panjang, lalu menjentikkan jarinya. Saat itu tubuhku seketika bisa digerakkan, aku langsung jatuh ke tanah dengan napas terengah.

Aku menoleh menatap wanita di hadapanku itu. Aku berusaha membaca niat dan maksudnya, tapi aku bukanlah orang yang bisa membaca pikiran. Aku ingat saat pertama kali bertemu Safina ketika dia menyerang aku, Kamal dan Arya di Langit Jatuh. Dia kejam dan memiliki ambisi kuat.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang