18. Hantu dan Tiga Telur

18 5 0
                                    

Hari menunjukkan waktu tengah malam, tapi aku dan Zaheer masih berjalan untuk sampai di gua terlarang Langit Jatuh untuk menemukan Si Merah dan telur-telurnya. Sesuai gambaran yang Wulan berikan, gua tersebut berada di dalam hutam rimba dan lebat yang hampir tidak pernah terjamah, dan sekarang kami sampai di depan hutan itu.

"Kamu yakin akan masuk ke dalam hutan ini?" tanya Zaheer.

Aku menoleh ke arahnya, melihat wajahnya yang tidak yakin. "Tentu."

"Gua ini memang tidak pernah terjamah manusia, Elok. Lihat," Zaheer mengangkat tangannya, menunjuk ke hamparan hutan di depan kami. "Tidak ada jalan, semua hanya pohon dan ilalang. Ditambah, kita tidak membawa penerangan."

Aku menghela napas panjang, benar kata Zaheer. Hutan ini sepertinya memang tidak pernah terjamah manusia, itu terlihat saat kami tidak melihat adanya jalan untuk masuk. Semua telah tertutupi ilalang-ilalang dan ranting-ranting kering dari pohon yang jatuh. Tapi sampai sini, apakah aku harus menyerah?

"Kita bisa," kataku. "Makanya aku mengajakmu ke sini, Zaheer."

Aku mengambil sebuah sabit di dalam tas, satu barang yang Wulan berikan untuk bekal di perjalanan. Dia bilang benda ini akan memudahkanku masuk ke dalam hutan, dan nyatanya memang begitu. Aku melangkah duluan masuk ke dalam semak belukar sambil mengayunkan sabit di genggaman, menebas tiap ilalang dan akar untuk membuka jalan.

"Elok, jangan begitu," kata Zaheer sambil menghentikan pergerakanku yang tengah memangkas semak belukar.

"Lalu bagaimana?"

Zaheer menghela napas panjang. "Kamu mundur ke belakang, biar aku saja."

Aku mengangguk, lalu melangkah mundur dan membiarkan Zaheer berada di depan.

Pria itu kini merentangkan tangannya, lalu aku melihat dia tampak fokus menatap ke satu titik. Kemudian dalam hitangan detik aku melihat bulir-bulir air keluar dari tumbuhan-tumbuhan di depan kami. Bersamaan dengan itu beberapa tanaman-tanaman liar dan semak belukar mulai layu dan mengering.

Bulir-bulir air yang berasal dari cairan di dalam tumbuhan itu menggumpal di atas, membentuk sebuah gelembung besar. Lalu Zaheer memutar tangannya membuat gerakan seperti membuka tutup botol, lalu dalam sekejap gelembung air itu berubah menjadi pipih seperti piring dan membeku.

Zaheer membentuk kuda-kuda, melangkahkan kakinya ke kiri dan ke kanan, menggerakkan piring itu ke bawah dan membabat semak belukar di hadapan kami dengan mudah. Melihat itu aku tersenyum, pria itu memang selalu bisa diandalkan.

Zaheer menoleh ke balakang, "Sambil berjalan."

Aku mengangguk, lalu Zaheer mulai melangkah maju. Sepanjang jalan dia terus memutar-mutar tangan untuk mengendalikan piring es di depan agar bisa membantu kami membabat semak belukar yang menghalangi jalan. Kami terus berjalan masuk ke dalam hutan dan melewati semak entah sampai kapan.

"Elok, lihat!" Zaheer berteriak dan menunjuk sesuatu.

Dalam keremangan cahaya bulan, kami sama-sama melihat terdapat sebuah moncong dari sebuah tempat. Yang bisa aku pastikan itu mirip seperti gua dengan ukuran besar. Melihat itu naluriku langsung berkata, "Itu gua yang kita cari, itu gua yang berada dalam penglihatanku."

Namun saat akhirnya kami berhasil menemukan gua tersebut, aku merasa ada sesutu yang menepuk bahuku. Saat aku menoleh ke belakang, aku merasa ada angin yang menabrakku. Kurang dari sedetik aku seperti mendapatkan sebuah penglihatan. Aku juga merasakan telingaku menjadi tajam.

Dari posisiku sekarang, aku melihat sebuah perkumpulan besar yang juga berjalan kemari. Di sana aku melihat bala tentara Rukshale, tidak terhitung jumlahnya. Mereka mengenakan baju besi, membawa persenjataan dan bergerak tanpa takut. Jantungku berdetang kencang saat mengetahui itu.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang