25. Cahaya yang sebenarnya

94 15 1
                                    

Setelah berputar-putar di sekitaran Rumah Naga bersama Si Merah—naga milik Soraya—kini kami berdua telah keluar dari kawasan Ibu Kota. Dari atas dan dari kejauhan, aku menoleh menatap tembok Ibu Kota yang baru saja kami lewati. Di sana banyak sekali penyihir-penyihir yang berjaga, di langitnya banyak penjaga langit dengan naga-naganya yang menjaga area udara.

Soraya berhasil melewati penjagaan ketat itu dengan mudah, dengan bantuan kekuatan di cincinnya yang bisa mengendalikan pikiran hingga membuat para penjaga tidak melihat kami. Sekarang kami terbang tinggi menembus kabut malam dan membelah angin yang membuatku menggigil. Beberapa kali aku mengencangkan piyamaku karena kedinginan.

"Kamu keniginan?" tanya Soraya, sedikit berteriak.

"Iya!" jawabku dengan lantang.

Aku pikir Soraya hanya basa-basi, namun wanita itu melakukan sesuatu yang tidak bisa aku tebak sebelumnya. Dia berteriak kencang, "Agni!"

Aku terkejut dengan teriakannya, namun lebih terkejut lagi saat Si Merah menyemburkan api ke depan. Lalu selanjutnya naga itu masuk ke dalam gumpalan api itu. Aku awalnya takut, namun setelahnya aku dibuat lega karena kami berhasil menembus gunpalan api itu. Hal tersebut menciptakan rasa hangat di dalam tubuh kami. Aku menoleh ke belakang, gumpalan api itu sudah hilang tertiup angin.

"Bagaimana?" tanya Soraya.

"Kamu gila!"

Pada akhirnya kami tertawa bersama dia atas Si Merah.

Aku tidak pernah menduga akan bertemu dengan Purnama Bersaudara, terutama bertemu sosok tegas dan memilki pendirian seperti Soraya. Saat masih kecil aku berpikir kalau aku hanya akan berteman dengan Nadia dan Kamal, atau mentok-mentok berteman dengan serigala-serigala di Gunung Virama. Ngomong-ngomong tentang Virama, aku jadi merindukan kampungku itu.

"Kita sudah dekat," ujar Soraya menyadarkanku.

Aku sontak melihat ke arah bawah. Kami sudah terbang rendah sekarang, keluar dari awan dan kabut malam. Si Merah kini terbang di atas perairan, aku tidak tahu ada di mana sampai akhirnya kami sampi di bibir pantai. Si Merah bersiap untuk mendarat, terbang lebih rendah. Namun belum sempat mendarat, aku dibuat bingung saat melihat sebuah obyek di bibir pantai, di antara butiran pasir putih.

Di sana aku melihat seekor naga hitam besar yang meringkuk di atas pasir pantai. Naga itu mengangkat wajahya saat mendengar auman Si Merah. Naga itu tidak sendiri, dia bersama seseorang yang duduk bersandar di tubuhnya. Aku tidak tahu siapa dia karena wajahnya tertutup kain hitam, namun aku bisa memastikan kalau dia adalah seorang pria.

Si Merah mendaratkan kakinya cukup jauh di depan naga hitam yang ukurannya lebih besar darinya. Naga hitam yang tadinya bersantai kini bangkit bersama pria itu. Naga itu mengaum ke arah kami yang baru datang sebagai tanda siga, namun si pria berpakaian hitam itu menenangkan naganya dengan mengusap kepala si naga. Melihat pria itu mengingatkanku dengan seseorang, dan naga itu... aku tampak mengenalnya.

Aku turun pertama dari pelana naga, Soraya menyusul di belakangku. Dari jarak yang cukup jauh, aku bertatapan mata dengan pria itu. Aku bisa melihat matanya dengan jelas, hitam legam dan bersih. Aku kembali teringat dengan seseorang yang selama ini aku cari, yang selama ini aku rindukan. Aku tidak tahu dia masih hidup atau telah gugur dalam pertempuran.

"Ini maksudnya apa, Soraya?" Aku menoleh, menatap Soraya. "Siapa dia?"

Soraya tidak menjawab, dia malah menatap sosok pria dengan naga hitam itu, lalu mengangguk.

Aku memperhatikannya dengan seksama, memperhatikan pergerakan pria itu saat membuka penutup wajahnya. Tepat saat kain hitam yang menutupi wajahnya terbuka, dengan jelas aku melihat wajah pria itu. Aku memang selalu meragukan diriku, namun pada akhirnya perasaanku tidak pernah salah. Pria itu adalah Laksana, dan memang benar, dari awal aku sudah menduganya.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang