26. Rumah Naga

10 2 2
                                    

Aku dan orang-orang di dalam Istana Langit Jatuh menatap keberangkatan Meutia dan Nadia bersama naga Embun Pagi. Mereka akan pergi ke Kota Tua untuk mencari orang yang mau menaklukkan naga. Meutia dan Nadia tidak berangkat sendiri, mereka ditemani oleh satu Armada Kapal Hiraeth yang dibawa oleh para Penyihir Angin terbaik.

"Semoga keberangkatan mereka membuahkan hasil," kata Ibu Gunung yang berada di sampingku.

Aku hanya diam saat itu. Aku tidak bisa memberikan respon yang gimana-gimana karena pikiranku sekarang tengah berkerja dengan keras. Aku sekarang memikirkan perkataan Wulan dua hari yang lalu, tapi sampai sekarang aku belum memberi tahukan hal ini pada Ibu Gunung atau Kamal.

Aku menatap para Pengungsi Gunung yang berada di lapangan sana. Apakah memang tidak da tempat lagi untuk mereka? Aku bingung. Jumlah kami sudah berkurang banyak sejak perang melanda, hanya sedikit dari kami yang selamat.

"Kamu terlihat tidak bahagia."

Aku menoleh saat Ibu Gunung berkata seperti itu. "Memangnya masih ada orang yang bahagia setelah perang ini datang?"

"Maksudku bukan begitu," kata dia. "Kamu terlihat murung dan bingung. Apa kamu baik-baik saja?"

Aku menatap wajahnya cukup lama, hanya bergeming untuk beberapa saat. "Mungkin kita harus bicara. Hanya berdua."

Ibu Gunung langsung tersenyum mendengarku mengatakan itu. "Baiklah kalau begitu, mari kita bicara. Keluarkan semua yang kamu pendam selama beberapa hari ini."

Aku mengangguk, lalu mulai melangkah menjauhi kerumunan di lapangan. Aku dan Ibu Gunung berjalan beriringan menyusuri lorong bangunan di dalam istana. Entah kebetulan atau bagaimana, kami berpapasan dengan Wulan. Wanita itu hanya diam, menatap malas ke arah kami sebentar.

"Dia nampak lebih segar," kata Ibu Gunung, kepalanya menoleh mengikuti pergerakan Wulan.

"Itu bagus," kataku.

Setelah pembicaraanku dengan Wulan dua hari yang lalu, aku tidak lagi bertemu dengannya. Lalu sekarang aku berpapasan dengannya, kondisinya sudah jauh lebih baik. Wulan yang sebelumnya terlihat hancur karena keterpurukan perlahan bangkit, penampilannya sudah sangat segar dan tubuhnya mengeluarkan aroma melati.

Aku dan Ibu Gunung berhenti di sebuah lahan rimbun dengan pohon-pohon besar yang memenjara kami dari sinar mentari. Keadaan di sana cukup sepi, hanya kicauan burung yang terus terdengar, atau deru angin yang beradu dengan dahan-dahan pohon yang menghasilkan alunan menenangkan.

"Apa yang ingin kamu bicarakan padaku, Elok?"

Aku tidak mau basa-basi, dalam sekali tarikan napas aku berkata, "Wulan meminta kita untuk meninggalkan kota ini."

"Kita?"

Aku mengangguk. "Aku, kamu, Kamal dan seluruh pengungsi Gunung Virama yang berada di sini."

Ibu Gunung tentu saja terkejut. "Apa kamu serius?"

"Aku serius," kataku dengan yakin. "Wulan bicara padaku dua hari lalu, saat aku datang bersama Hiraeth dan Meutia."

Wanita paruh baya di hadapanku menghela napas panjang, dia diam cukup lama, dia bingung. "Kenapa Wulan bicara begitu? Padahal saat perang di Gunung Virama, dia sendiri yang membuka portal untuk rakyatku ke tempat ini."

"Semuanya sudah berubah, Ibu," kataku. "Perang merubah semuanya. Merubah kota, tatanan negara, pertahanan, dan sifat. Wulan ikut berubah. Dia marah padaku, dia menyalahkanku atas apa yang terjadi pada Soraya dan Rama. Dan... dia menyalahkanku atas hancurnya kota ini."

Ibu Gunung langsung memelukku saat perkataan terakhir yang aku ucapkan. Dia mengusap kepalaku dari belakang. "Kamu telah melakukan yang terbaik untuk semua orang. Kamu tidak bisa disalahkan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang