17. Telur Naga

23 3 0
                                    

Aku membuka mataku, menatap dinding-dinding batu yang lembab dan berlumut. Rasanya di sini benar-benar dingin dan basah, tapi itu membuatku nyaman. Aku hanya berbaring di atas bebatuan sambil sesekali menggeliat, dan mengeram. Aku bisa mendengar suaraku sendiri saat aku mengeram, dan aku sadar kalau ini bukan aku.

Aku mengangkat kepalaku, menatap bentuk tubuh yang bukan diriku. Tubuhku besar, berwarna merah pucat dengan beberapa tanduk-tanduk kecil yang tumbuh dari leher sampai ujung ekorku. Aku juga punya lengan yang lebar dan ringan dengan carar tajam. Dan, kepalaku terdapat dua tanduk tajam menyerupai mahkota.

Si Merah. Akhirnya aku berhasil masuk ke dalam pikirannya, berada di tempat di mana dia bersembunyi. Aku berdiri, berencana untuk melangkah pergi. Namun belum sempat aku melangkah, aku melihat beberapa benda lonjong dengan sisik-sisik berwarna yang mengkilat. Telur naga.

Tepat saat aku meyadari itu, aku langsung terpental dari pikiran Si Merah dan kembali ke isi kepalaku. Terbaring di atas ranjang dengan tubuh berkeringat. Aku masih tidak percaya kalau aku bisa berpindah pikiran ke seekor naga. Aku bangkit dari ranjang dan meneguk air.

"Si Merah, dia bertelur?" tanyaku dalam diri.

Pada pagi harinya aku meminta Wulan untuk mengumpulkan semua orang. Tanpa bertanya-tanya, adiknya Soraya itu mengabulkan permintaanku. Alhasil pada siang harinya kami semua berkumpul dalam mejelis kecil yang Wulan adakan atas permintaanku. Aku, teman-temanku beserta pada petinggi dan penasihat istana berkumpul dalam satu meja.

"Apa ada perkembangan terbaru tentang perang ini? Atau kamu menemukan jalan keluar atas situsi ini?" tanya salah satu sesepuh pada Wulan. "Kenapa kamu mengumpulkan kita semua di sini?"

Wulan menggeleng. "Bukan aku, tapi Elok."

Semua orang lalu menatap ke arahku.

Aku bisa melihat ekspresi bingung Kamal. "Kamu tidak cerita apa-apa padaku, Elok. Apa yang kamu hadapi?"

Aku hanya menatap Kamal tanpa memberikan jawaban, aku lalu menggerakkan kepalaku menatap orang-orang di dalam meja ini. Akupun berkata, "Aku berhasil menemukan Si Merah."

Semua orang yang ada di sana tidak memberikan respon yang bagaimana. Entah mereka sudah putus asa, atau mereka tidak begitu percaya denganku.

Saat mereka semua hanya diam sambil berbisik satu sama lain, aku kembali berkata, "Aku bukan hanya berhasil menemukan Si Merah. Ada hal lain yang aku temukan."

"Apa?" tanya Wulan.

"Aku menemukan beberapa telur di dekapan Si Merah," kataku. "Aku sangat yakin kalau Si Merah bertelur."

"Lalu?" tanya salah satu tertua di sana.

Aku tidak langsung menjawab, aku menatap wajah orang-orang dalam meja ini. Mereka tidak menunjukkan kesenangan atau antuasias atas informasi yang aku berikan.

"Telur-telur Si Merah pasti akan menetas dan melahirkan bayi-bayi naga, yang mana bayi-bayi naga itu akan tumbuh besar dan menjadi kekuatan bagi Viraksa," kataku. "Mereka adalah masa depan bagi negeri ini."

Beberapa orang di meja ini menertawakanku, seorang pria tua berkacamata mengatakan sesuatu yang membuatku tersinggung, "Langit Jatuh akan segera hancur, lalu apakah masih ada waktu untuk kita menunggu naga-naga itu tumbuh besar selama puluhan tahun? Bahkan bayi naga itu belum menetas."

"Belum tentu menetas juga," sambung yang lain.

Aku mengepalkan tanganku di bawah meja, berusaha untuk tenang. "Kita kehilangan ratusan naga di Ibu Kota yang lama, yang mana itu adalah kekuatan terbesar Viraksa. Telur-telur naga itu adalah masa depan bagi bangsa ini, mereka adalah kepingan-kepingan kekuatan yang aku temukan."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang