Pembuka (Dongeng sebelum tidur)

922 50 0
                                    

Auman dua naga besar yang dutunggangi dua pria dengan baju besi terdengar jelas saat mereka memasuki kawasan Gunung Virama. Jika auman naga sudah terdengar, para masyarakat gunung sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan si Laksana dan si Lim, dua orang pengawal Raja sekaligus penunggang naga yang sering menjenguk seorang gadis bermata ungu yang tinggal sendiri di sana.

Auman naga itu membelah kesunyian malam dan beradu dengan gemuruh petir di langit. Tubuh dua penunggang naga itu sudah basah kuyup oleh air hujan, namun keduanya tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang pengawal Raja dan pelindung keturunan-keturunannya. Yang satu naganya berwarna putih, sedangkan yang satu lagi berwarna hitam.

Dua naga itu mendarat di perkarangan sebuah rumah dari anyaman yang sederhana. Sementara di beranda rumah, sesosok gadis kecil yang semulanya tengah duduk di bangku panjang sambil mengayun-ayunkan kakinya mendadak wajahnya sumringah dan langsung melompat turun saat melihat dua pria dan dua naga yang baru datang.

Dia memekik girang sambil berteriak, "Laksana! Lim!"

Tanpa peduli dengan air hujan yang masih terus turun, gadis itu berlari keluar dari beranda dan berlari ke arah dua pria berbaju besi yang kini tengah turun dari naga. Gadis itu sangat berani, bahkan dia tidak mempedulikan dua naga buas yang sedari tadi memperhatikannya. Yang gadis itu inginkan hanya dua pria di atas naga yang kini sudah turun.

Gadis itu memeluk keduanya dengan tak sabar, lalu kemudian dia memekik kesakitan saat keningnya mengantam zirah yang pria itu kenakan. "Aduh!"

Yang tadinya dia antusias, kini gadis itu mengerang di bawah hujan smabil mengusap keningnya. "Sakit...."

Pria bermata sipit dan berkulit putih yang melihat gadis kecilnya kesakitan pun langsung mengangkat tubuh mungilnya ke dalam gendongannya. "Sudah aku bilang berapa kali, kamu harus berhati-hati. Sekarang jadi sakit, kan? Juga, siapa yang mengajarkan kamu menerobos hujan? Bagaimana jika kamu sakit?"

Meski dimarahi, gadis itu masih sempat terkekeh. "Maaf, Lim. Aku hanya merindukanmu."

Pria satunya—yang memiliki kulit sawo matang dan mata tajam berdeham. "Oh jadi begitu, kamu hanya merindukan Lim? Kamu tidak merindukan aku, Elok?"

Gadis kecil yang dipanggil Elok itu menggeleng. "Maaf, bukan begitu maksudku, Laksana. Aku juga merinduaknmu, aku merindukan kalian."

Laksana tersenyum, lalu dia mencium pipi gadis bermata biru itu. "Aku tak sabar untuk menunggumu besar dan melihatmu menemukan seseorang yang tepat."

Pria itu kembali berkata, "Sudah malam. Lim, kamu bawa dia masuk dan hangatkan tubuhnya. Biar aku yang menurunkan barang-barang dari atas naga."

Pria sipit bernama Lim mengangguk, lalu mulai berjalan masuk ke dalam rumah dari anyaman itu. Tubuh Lim dan gadis kecil itu basah kuyup, air-air di tubuh mereka jatuh ke lantai tanah dan masuk ke sana. Lim menurunkan Elok di depan perapian, lalu dia membuka lemari di bilik sebelah untuk mengambil handuk dan pakain baru gadis kecilnya.

Lim kembali dengan membawa apa yang dia cari, wajahnya ditekuk. "Dengar ya Elok, aku marah padamu. Ini sudah malam, ditambah hujan pula. Mengapa kamu masih berada di beranda rumah sendirian malam-malam begini? Kamu mulai nakal, ya?"

Elok menggeleng dengan panik. "Tidak begitu, Lim. Aku hanya tidak sabar menunggu kalian datang, kalian juga kan sudah janji akan datang hari ini."

Lim menggeleng malas, berusaha melupakan itu. Dia dengan telaten melepaskan pakaian gadis kecil berusia enam tahun yang kini basah kuyup itu. Seperti seorang Ibu, salah satu Pengawal Raja itu mengelap tubuh Elok yang basah. Dari mulai rambut, sampi ujung kaki. Setelah tubuh gadis itu kering, Lim mulai memakaikan pakaian yang tadi ia ambil.

"Berjanjilah untuk tidak begitu lagi."

Elok mengangguk sedih. "Aku berjanji, Lim."

Setelah memakaikan pakaian baru pada Elok, kini gantian dirinya. Lim melepas helm besinya, dia juga menanggalka baju besi di tubuhnya sampai tersisa baju dalamannya. Baju dalamnya yang memang basah pun ia lepas, lalu Lim peras sampi air-air hujan itu keluar dan kemudian dia jemur di depan perapian. Dia lalu duduk di depan api yang menyala itu.

Lim menghela napas saat melihat wajah sedih Elok. Dia pun mengambil tubuh mungil gadis itu dan mendudukannya di pngkuan. Lim memeluk gadis kecil itu dari belakang, menyalurkan kehangatan tubuhnya. "Jangan sedih lagi. Kamu mau mendengar sebuah cerita?"

Elok masih sedih, namun dia tetap antusias. "Aku akan mendengarnya."

"Dulu orang tuaku sering bercerita tentang ini, dan aku ingin kamu mendengarnya juga," ujar Lim. "Kamu tahu, Elok? Ibuku pernah bercerita kalau kelak di masa depan akan terjadi sebuah kiamat yang menyeramkan."

Elok bertanya dengan polos. "Apa itu kiamat?"

"Kiamat itu adalah sebuah bencana yang bisa mengancurkan dunia atau sebuah kaum." Lim mengecup rambut basah Elok. "Dan Ibuku berkata demikian. Dia mengatakan kalau di masa depan matahari akan hilang, semua cahaya yang ada di bumi akan redup, yang ada hanya kegelapan. Karena tak ada cahaya, satu-persatu mahluk di muka bumi ini mulai mati."

Elok mendongak, menatap wajah Lim yang serius. "Itu menyeramkan. Mengapa matahari yang besar itu bisa hilang, Lim?"

Lim terkekeh mendengar pertanyaan gadis kecilnya. "Bukan matahari yang hilang, namun kita yang tak bisa dijangkau olehnya. Itu semua disebabkan karena ambisi, dosa dan ketamakan seseorang."

Elok kembali bertanya, "Siapa orang itu? Mengapa dia bisa menghilangkan matahari?"

"Dia adalah seorang penyihir kuat dan tak terkalahkan yang menguasai ilmu kegelapan. Dia membunuh para Raja di muka bumi, membunuh siapapun yang melawannya, dan dia bisa menciptakan monster-monster menyeramkan yang memakan manusia." Lim mengusap tangan mungil Elok. "Saking kuatnya penyihir itu, dia bisa mendatangkan bayangan-bayangan hitam yang besar. Sangat besar sampai-sampai menutupi dunia kita, bayangan hitam itu membungkus bumi ini sampai cahaya matahari tak punya celah untuk masuk sedikitpun. Pagi hari akan hilang, yang ada hanya malam panjang."

Gadis itu menggeliat ketakutan, dia memeluk Lim erat. "Apa malam panjang itu akan benar-benar datang? Apa penyihir jahat itu benar-benar ada? Dan, apa benar semua manusia akan mati?"

Lim tidak berhenti bercerita meski melihat gadis kecilnya sudah ketakutan. Dia kembali berkata, "Manusia banyak yang mati, namun tidak semua. Ada seorang manusia yang merupakan keturunan asli dari Kaum Cahaya yang akan membawa perubahan bagi mahluk di muka bumi ini. Dia memiliki bola mata ungu yang membuatnya bisa melihat dalam kegelapan, dia juga memiliki rambut biru yang bisa berkilau saat di gelap."

Elok bertanya, "Perubahan bagaimana, Lim?"

"Dia yang kelak akan mengalahkan si penyihir jahat itu, dia si pemberani. Dia akan membasmi semua monster-monster penyihir jahat itu dengan naganya yang perkasa, dan dia yang akan menghancurkan bayangan-bayangan hitam itu sehingga matahari dapat menyinari bumi lagi, dia juga yang akan menyatukan semua kaum di muka bumi ini. Orang-orang menyebutnya, Sang Penerang dalam malam panjang. Dia si pembawa perdamaian."

Lim kembali akan bercerita, namun ia urungkan saat melihat gadis kecilnya sudah terlelap. Pria itu tersenyum, lalu menggendong tubuh kecil Elok masuk ke dalam bilik dan meletakannya di atas ranjang. Lim menarik selimut untuk menutupi tubuh kecil sang Elok. Dia mengecup kening gadis itu, lalu melangkah keluar.

Saat keluar, ia melihat Laksana sudah bersantai di depan perapian. Pria itu berakata, "Aku selalu tertarik dan selalu bertanya-tanya setiap kali Ibuku menceritakan tentang dongeng itu."

Lim bergabung duduk di samping rekannya. "Elok adalah Kaum Cahaya terakhir, karena kemungkinan Ibunya telah tiada. Apakah dialah yang akan menjadi orang yang ada dalam cerita rakyat yang para orang tua ceritakan untuk membuat anaknya cepat tidur?"

Lim lalu menambahkan, "Atau keturunannya kelak?"

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang