1. Kapal Terbang

40 6 0
                                    

Beberapa bulan lalu aku hanyalah gadis desa sekaligus gadis buangan yang diaskingkan karena merupakan anak haram dari seorang Raja Besar Viraksa. Aku hidup dalam kesendirian, hidup bermodalkan kebaikan orang sekitar tanpa kasih sayang dan didikan orang tua. Terkadang aku berpikir, untuk apa aku dilahirkan jika harus merasakan kesedihan dan kesepian?

Namun itu pikiranku yang dulu, sekarang semua berubah semenjak seekor naga kecil muncul di rumahku. Sudah sebelas bulan lamanya awal aku bertemu bayi naga itu yang awalnya aku kira hanya seekor naga yang tersasar, sampai akhirnya aku mengetahui bayi naga itu adalah hadiah ulang tahunku yang ke dua puluh tahun dari Ayah kandungku.

Kadang aku tidak percaya kalau aku bisa berada di situasi sekarang, berjuang untuk nasib orang banyak. Aku masih sulit menerima fakta kalau aku adalah orang yang diramalkan akan menjadi penerang dalam malam panjang yang akan datang hanya karena aku merupakan satu-satunya Kaum Cahaya yang masih ada di dunia.

Pertanyaanku adalah, apa aku benar-benar orang yang dimaksud? Dan, apakah ramalan itu benar akan terjadi? Semua bisa salah, kan?

"Kita sudah terbang selama lebih dari lima jam sejak pendaratan terakhir, Gerhana butuh istirahat," ujarku di pelana depan, menunggangi naga merahku.

"Kalau begitu ayo kita mendarat, aku juga sudah mulai lapar," jawab Kamal. "Sudah tiga hari kita berada di belantara, aku mulai mudah lelah."

Nadia mendelik ke arah Kamal. "Kamu sudah makan banyak di pendaratan terakhir kita, Kamal. Apa kamu sudah mulai lapar lagi?"

"Memangnya kenapa?"

"Makanan kita terbatas, jangan sampai kamu mengacaukan perjalanan kita ini karena kelaparan."

Kamal mengibaskan tangannya, tidak perduli dengan ocehan Nadia. "Kalau kita kehabisan makanan kita tinggal membelinya, toh Mamaku membawakan kita uang. Jika kita kehabisan uang, aku masih bisa berburu."

Nadia mendengus kesal. "Kamu selalu menganggap remeh banyak, termasuk hal-hal penting seperti ini!"

"Hidup tidak perlu dibawa pusing, Nad."

Sejak meninggalkan Langit Jatuh tiga hari lalu, kami terus bergerak lurus arah Utara untuk sampai di tempat tujuan, Kota Tua. Kami sudah terbang kurang lebih selama lima jam dari pendaratan terakhir, dan Gerhana butuh istirahat. Nagaku itupun mulai turun dari udara dan mendarat di sebuah padang rumput.

Kamal turun pertama dengan tas dan persenjataannya, lalu disusul Nadia. Aku tidak langsung turun, aku memperhatikan keadaan sekitar dari atas naga, aku hanya ingin memastikan tidak ada bahaya yang mengintai. Setelah dirasa aman, aku langsung ikut turun dengan pelan-pelan.

Aku melihat Nadia melempar sebuah makanan yang dibungkus daun pisang. "Jatahmu, hemat-hemat!"

Kamal tersenyum, lalu membuka bungkusan daun pisang itu. "Terima kasih."

Nadia menyerahkan bungkusan daun pisang lain kepadaku juga. "Ini, ambil."

Aku menolak. "Nanti saja, aku belum lapar."

Nadia mengangguk, kembali memasukkan bungkusan daun pisang itu ke dalam tas. "Aku juga belum lapar, memang saja si Kamal rakus."

"Aku mendengarmu, Nad!" sambung Kamal dengan mulut penuh nasi putih.

Kami bertiga beristirahat di padang rumput luas itu. Cuaca tidak terlalu panas, malah terkesan mendung membuat angin berhembus cukup kencang. Di tengah angin yang mendera, aku bersandar pada tubuh besar nagaku sambil menatap ke arah Kamal yang tengah berlatih dengan pedangnya.

"Pedang baru?" tanyaku, karena aku baru melihat benda itu. Selama ini Kamal selalu mengenakan pedang peninggalan Ayahnya, namun pedang itu tidak sempat ia bawa saat kita melarikan diri dari Gunung Virama.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang