Aku dan Kamal berdiri di barisan Purnama Bersaudara, kami berdiri di depan para prajurit. Kami semua berbaris untuk melakukan upacara penghormatan bagi para prajurit yang gugur dalam pertempuran kemarin. Setelah seharian mengumpulkan jasad-jasad bagi mereka yang gugur, akhirnya tepat setelah matahari terbit upacara penghormatan terakhir bisa dilaksanakan.
Jasad-jasad itu dibaringkan di atas kayu-kayu yang nantinya akan menjadi sumbu api saat kremasi akan dilaksanakan. Setelah beberapa menit mendengarkan pidato singkat Soraya di depan, akhirnya kremasi mulai dilangsungkan. Beberapa pengawal menyerahkan obor-obor menyala pada Soraya dan saudara-saudaranya.
"Ambil obor ini," ujar Ramzi menyerahkanku sebuah obor padaku.
Aku terkejut. "Aku tidak berhak menerima ini. Kalian saja, aku bukan bagian dari Langit Jatuh."
"Sekarang kamu adalah bagian dari Langit Jatuh." Ramzi masih menyodorkan obor. "Hantarkan mereka dengan api dan doamu, mereka membutuhkan itu."
Aku sekilas menatap Kamal, dan dia hanya mengangguk. Akhirnya aku menerima obor itu untuk ikut memberikan penghormatan terakhir pada mereka yang gugur. Aku, Soraya, Ramzi, Wulan, Arya, Rama, Jaka dan Sunar berjalan ke tengah mendekat pada sumbu besar yang di atasnya sudah terbaring ribuan jasad mereka yang gugur.
"Kematian yang paling menyenangkan adalah disaat kamu mati sebagai pejuang di jalan kebebaran," ujar Soraya sambil menempelkan nyala api pada sumbu di sana.
Satu-persatu dari kami menempelkan api di obor pada sumbu di sana. Perlahan tapi pasti, api mulai menyebar dan menyelimuti ribuan jasad di atas tumpukan kayu. Kami pun melempar obor-obor yang kami pegang ke dalam api itu sembari berdoa untuk ketenangan bagi mereka yang gugur. Entah bagaimana perasaanku saat itu, yang jelas tidak karuan.
Soraya mengawali langkah beranjak dari sana, lalu diikuti satu-persatu saudaranya. Barisan mulai dibubarkan, semua orang mulai beranjak. Sementara aku, aku masih diam di depan kobaran api kremasi itu. Bukan tanpa alasan, karena aku melihat hal aneh di dalam api itu. Aku... entahlah, aku seperti melihat ada gambar wajah di dalam api itu. Entah wajah siapa itu.
Makin aku perhatikan, aku makin yakin kalau itu adalah gambar sebuah wajah. Aku menoleh ke semua orang berharap aku tidak sendiri yang melihat itu, namun nyatanya memang hanya aku yang melihatnya. Saat aku kembali menoleh ke depan untuk melihat gambar wajah itu, aku dikejutkan dengan api yang tiba-tiba meledak ke arahku. Aku tersungkur sambil berteriak.
"Elok!" Kamal datang dan membantuku untuk bangun. "Kamu, kenapa?"
Purnama Bersaudara dan semua orang menghampiriku. Mereka semua bertanya dengan pertanyaan yang sama, "Kamu, kenapa?" Atau, "Kamu baik-baik saja?"
Aku mengangguk tanpa menjawab, mataku masih fokus pada api kremasi itu. Wajah itu sudah hilang.
"Ada apa?" tanya Soraya.
Aku menggeleng. "Tidak. Tidak ada apa-apa."
Ramzi menyambung, "Kamu yakin?"
Aku mengangguk. "Lupakan saja. Sekarang lebih baik kita fokus memperbaiki bangunan."
Para Purnama Bersaudara mengangguk, mereka pun mulai beranjak dari sana untuk mengambil posisi di depan rumah mereka yang sudah rusak dan runtuh di beberapa sisi. Soraya bilang, mereka bisa kembali menyatukan puing-puing bangunan dengan sihir. Mereka bisa membuat rumah mereka kembali seperti sediakala dengan menggunakan ikatan darah.
Seperti sekarang, aku melihat Soraya, Ramzi, Wulan, Arya, Sunar, Rama dan Jaka berdiri di depan rumah mereka yang telah menjadi puing. Keduanya menjaga jarak satu sama lain, sementara Soraya sebagai kakak tertua memberi aba-aba pada adik-adiknya. Wanita itu mengangkat kedua tangannya, lalu mengarahkannya ke depan puing-puing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Malam
FantasyDi dalam dalam gunung Viraksa hidup seorang gadis bernama Elok, yang merupakan anak haram dari Raja Viraksa. Sekilas Elok hanyalah gadis biasa yang tak memiliki kelebihan selain mata ungunya yang bisa melihat dalam gelap atau rambut birunya yang ind...