15. Berita Buruk

18 3 0
                                    

Terakhir kali aku merasakan aman dan nyaman berada di pelukan seseorang itu ketika aku masih kecil, entah umur berapa, tapi saat itu Lim memelukku dengan erat saat aku ketakutan melihat satu warga di Gunung Virama yang dilahap oleh naga Pudar milik Laksana. Aku takut dan menangis histeris, tapi Lim datang dan memelukku hingga membuatku seketika merasa aman dan nyaman.

Dan setelah sekian lama aku lupa rasanya merasa nyaman dan aman dalam dekapan seseorang, kini aku mersakannya lagi. Di antara senja saat itu, aku merasakan rasa yang begitu nyaman saat Lembayung memelukku. Rasanya seperti aku menemukan yang selama ini aku cari. Kasih sayang dari seorang keluarga.

"Sudah tiga minggu aku menjaga perbatasan di Laut Timur, jadi bolehkan aku bertanya tentang janjimu, Yang Mulia?" tanyaku. "Aku menagihnya."

Sekarang aku menghadap Kawiswara untuk menagih janjinya yang akan mengirim para Pengintai terbaik untuk memburu orang-orang yang dirasuki Mahluk Bayangan.

Kawiswara berdiri dari singgasananya. "Kamu jangan khawatir, Elok. Aku sudah mengirim para pengintai terbaik yang Viraksa punya."

"Berapa yang kamu kirim?" tanyaku.

"Seratus," jawabnya. "Aku sudah mengirim mereka ke tempat-tempat yang sudah terprediksi terjadi banyak kasus kerasukan, seperti Kota Tua."

"Siapa yang kamu kirim?"

"Para pemuda perkasa yang ahli dalam penyamaran."

Mendengar itu aku menghela napas panjang, aku maju lebih dekat dengannya. "Sekarang, tarik mereka semua. Kamu melakukan hal yang salah, Yang Mulia. Kamu hanya akan membuat mereka semua mati sia-sia."

Kawiswara jelas kesal mendengar ucapanku. "Apa maksudmu bilang begitu? Aku sudah melakukan apa yang kamu mau, sialan."

"Sudah aku bilang padamu saat awal kedatanganku ke Guntama, kalau tidak ada yang bisa membedakan orang biasa dan orang yang kerasukan selain Penyihir Darah! Maka, harusnya kamu mengirim para Penyihir Darah!" ujarku dengan keras. "Sekarang tarik para Pemuda itu kembali sebelum mereka menjadi target kerasukan sebelumnya."

"Tidak," ujarnya. "Aku melakukan apa yang harus aku lakukan, aku sudah menepati janjiku padamu dengan mengambil tindakan."

"Kamu...." Aku berusaha menahan diriku saat rasa kesalku memuncak.

Perdebatan kami mungkin akan terus berlanjut jika seorang prajurit tidak masuk ke dalam aula dan menghentikan perdebatan kami. Prajurit itu berjalan dengan bunyi gesekan dari baju besinya, membawa sebuah gulungan kertas kepada Kawiswara.

Dia menunduk. "Yang Mulia, pagi ini ada merpati yang mendarat membawa pesan dari Langit Jatuh untuk anda."

Kawiswara menerima gulungan surat itu, membukanya lebar dan membacanya dalam diam. Saat itu aku ikut diam sambil menebak-nebak apa isi surat itu.

Ketika sudah selesai membaca, Kawiswara kembali menggulung kertas itu dan memasukkanya ke dalam saku bajunya. Wajahnya berubah menjadi marah, sedih dan putus asa. Dia hanya menatapku, cukup lama.

"Apa?"

Aku tidak tahu apa berita apa yang ada di dalam surat itu, tapi yang bisa aku terka itu adalah hal genting. Karena setelah Kawiswara membaca gulungan tersebut, sorenya dia mengumpulkan para Penunggang Naga dan para petinggi negeri untuk berkumpul dalam satu meja. Jika semua sudah dikumpulkan, berarti ini adalah masalah yang serius.

"Pagi tadi ada merapati yang membawa berita dari Langit Jatuh," ujar Kawiswara, menaruh kedua tangannya di meja. "Sayangnya, Langit Jatuh semakin dekat dengan kejatuhannya."

"Apa yang terjadi?" tanya Laksana.

"Nyatanya memang mengirim Minara dan Si Cepat ke sana bukanlah cara yang ampuh untuk mengakhiri penjajahan di sana," kata Kawiswara.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang