25. Rencana

19 4 0
                                    

Nagaku mengaum saat sampai di perbatasan Langit Jatuh membuat semua orang yang ada di sana langsung keluar. Aku lalu menoleh ke belakangku, menatap Cahaya yang ditunggangi oleh Arya, Zaheer dan Kamal, lalu di belakang mereka terdapat Embun Pagi yang ditunggangi oleh Meutia dan Nadia, terakhir ada naga hitam Harsa yang paling besar.

Sesaat naga-naga kami memutari istana Langit Jatuh untuk ancang-ancang mendarat, sampai akhirnya kami semua sampai di tanah satu-persatu. Aku melihat Ibu Gunung, Afan dan orang-orang di sana bingung menatap kedatangan naga-naga ke tempat ini.

Aku melihat Nadia turun dari pelana bersama Meutia. Sahabatku itu lari tergesa-gesa ke arah Afan yang menunggu, lalu memeluknya erat. Aku bisa merasakan kerinduan mendalam antara anak dan ayah itu. "Aku merindukanmu, Ayah," kata Nadia dalam pelukannya.

Setelah turun dari naga, aku langsung menghampiri Ibu Gunung yang nampak bertanya-tanya. "Maaf membuatmu khawatir."

Mamanya Kamal itu menggenggam tanganku. "Kamu dari mana saja? Dan, kenapa kamu bisa bersama Nadia dan Meutia? Kamu juga membawa orang-orang asing."

Banyak pertanyaan dari Ibu Gunung dan orang-orang. Saat itu aku hanya menjawab, "Bahaya akan datang menghampiri kita semua."

Aku mendengar orang-orang mengeluh saat mendengarku berujar demikian. Kebanyakan dari mereka ketakutan dan bertanya-tanya, "Apalagi ini?". Kita baru saja berperang habis-habisan untuk mempertahankan tempat ini, menghabiskan banyak keringat, air mata dan darah untuk semua ini.

Meutia menghampiri kami, dia menyapa Ibu Gunung, "Apa kabar, teman lama?"

Wajah Ibu Gunung langsung berubah menjadi sumringah. "Tidak begitu baik, tapi masih hidup. Bagaimana kabarmu sendiri? Ada apa gerangan penguasa Utara datang kemari? Terakhir aku dengar dari Elok dan Kamal, kotamu diserang oleh orang-orang yang kerasukan."

"Itu benar," katanya. "Dan kami semua kemari untuk membahas soal itu."

Ibu Gunung dan Meutia berbincang cukup panjang, Nadia masih melepas rindu dengan ayahnya, begitupun juga dengan yang lain. Pelan-pelan aku mulai mundur meninggalkan orang-orang di depan. Aku mulai masuk sambil merenggangkan tubuhku yang agak pegal.

Saat aku tengah berjalan, aku tidak sengaja melihat sosok Wulan tengah melamun di atas atap salah satu bangunan tinggi di sana sambil menatap ke arah orang-orang di bawah. Hal itu kembali membuatku merasa sedih. Wulan pasti masih merasakan kesedihan atas perginya Soraya dan Rama untuk selama-lamanya.

Aku lalu bergerak masuk ke bangunan itu, menaiki anak tangga demi anak tangga untuk sampai di tempat Wulan berada. Sesampainya di atas, aku malah hanya diam sambil menatap punggung Wulan. Tubuh wanita itu semakin terlihat kurus, rambutnya tergerai dan tidak tertata, dia benar-benar terlihat ringkih.

"Wulan," panggilku dengan hati-hati.

Wulan hanya diam awalnya, namun tak lama dia berkata, "Rasanya masih tidak percaya kini aku sendirian."

"Kamu tidak sendirian," kataku. "Kami masih di sini bersamamu. Kamu masih punya Arya. Dia memang masih terlalu kecil untuk merasakan semua ini, tapi dia tetap tegar dan akan selalu ada untukmu."

"Aku menang lemah dan ceneng, Elok. Dari dulu," balasnya. "Tidak sepert Arya atau saudaraku yang lain."

Aku menghela napas panjang, lalu mulai pelan-pelan mendekatinya. "Aku tahu kamu masih berduka dan teramat sedih atas perginya Soraya dan Rama untuk selamanya. Tapi, dunia membutuhkanmu, Wulan. Kami semua membutuhkanmu."

Wulan menoleh ke arahku dengan tatapan kosongnya. "Apapun yang kamu dan teman-temanmu rencanakan, aku tidak akan ikut campur. Mulai sekarang Langit Jatuh tidak akan ikut campur dengan segala urusan dari luar."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang