34. Api dan Petir

105 10 22
                                    

Aku tidak tahu kenapa kami bisa kecolongan. Setahuku, Ibu Gunung sudah mengutus mata-mata terbaiknya untuk menantau pergerakan musuh. Namun sekarang kami semua benar-benar tidak menduga akan mendapat serangan besar-besaran seperti ini. Dan yang paling parah, mereka semua berada di sini, mengepung Gunung Virama.

Aku duduk di atas pelana Gerhana, Nadia dan Kamal ikut di belakang. Kami terbang mengitari Gunung Virama—masih di dalam tabir—tengah malam. Meski malam dan remang-remang, aku masih bisa melihat dengan jelas hamparan orang-orang yang mengepung kami semua dari pasukan Sang Malam.

Entah berapa jumlahnya, namun perkiraan ada belasan ribu. Di bawah sana, pasukan Sang Malam masih diam menunggu tanpa memberikan serangan atau gertakan. Entah apa yang mereka rencanakan. Sejauh ini tabir masih bertahan di tengah gempuran bola api yang menyerang, namun tabir yang melindungi tempat ini mulai terkoyak-koyak.

"Mereka banyak sekali," ujar Nadia menatap belasan ribu bala tentara Sang Malam.

"Jumlah kita jauh lebih banyak," balas Kamal.

Aku mengangguk menyetujui. "Ya, kamu benar, Kamal. Tapi Sang Malam pasti memiliki banyak naga dalam pertempuran kali ini."

Nyatanya memang pasti begitu, Sang Malam pasti mengerahkan banyak naga untuk menaklukkan tempat ini. Namun untuk sekarang aku dan kedua temanku belum melihat adanya sosok naga di antara barisan para prajurit Sang Malam. Tapi aku yakin, pasti mereka memiliki banyak naga.

Dari atas naga aku juga bisa melihat puluhan ribu Tentara Gabungan dari sebelas kota Viraksa sudah berdiri dan menempati posisi mereka masing-masing, bersiap untuk menghadapi serangan. Para pemanah berdiri di atas tebing tertinggi, di dampingi para Penyihir Angin dan Penyihir Bayangan yang dipimpin oleh Ramzi, Jaka dan Arya.

Kawiswara, sang pangeran Viraksa, anak pertama dari Raja Viraksa, ikut dalam pertempuran. Dia berdiri paling depan, di kaki gunung, dengan baju besi dan pedangnya bersama pasukan berkuda lain, Kavaleri. Di belakang Kavaleri terdapat para Infanteri dan para penyihir dari Tentara Kedua langit jatuh yang dipimpin oleh Rama, anak tertua ketiga dari Purnama Bersaudara.

Sementara itu, para warga sudah dievakuasi dan dilindungi di dalam istana. Istana sendiri dijaga ketat, pasukan terbaik dikerahkan untuk menjaga pusat pemerintahan di gunung itu. Wulan dan Sunar menjaga tempat tersebut, bersama sebagian dari Tentara Kedua dan Tentara Gabungan. Regu penyembuh juga ditempatkan di banyak titik untuk mengobati prajurit yang terluka, regu itu dipimpin oleh Ayah Nadia, Afan.

Aku dan kedua temanku mendarat di kaki gunung, tempat Kawiswara dan regunya berada. Aku turun dari naga dan menghampirinya. "Yang Mulia," sapaku.

Masih di atas kuda putihnya dia menatapku. "Bagaimana, Elok? Kamu sudah memantau keadaan?"

Aku mengangguk. "Ya, semua berjalan sesuai yang kita rencanakan. Jadi sekarang, apa rencanamu?"

Kawiswara diam sejenak, lalu menoleh ke arah tebing tertinggi di gunung, tempat para pemanah dan Penyihir Angin, lalu dia menoleh lagi ke arahku. "Bergabunglah di tebing bersama para pemanah dan Penyihir Bayangan."

Aku mengangguk. "Baik, Yang Mulia."

Aku lalu berjalan ke arah nagaku, diikuti dua temanku. Namun belum sampai naik ke atas pelana, aku dibuat berhenti saat Kawiswara berkata, "Kamal, kamu tetap di sini bersamaku dan Tentara Kavaleri lain."

Kamal terdiam, kemudian menoleh ke arahku, lalu menoleh ke arah Kawiswara lagi. "Maaf sebelumnya, Yang Mulia, tapi—"

"Kamu adalah anak laki-laki Ibu Gunung, sekaligus anak satu-satunya. Kamu adalah penerus takhta gunung ini setelah Ibumu, jangan lupakan itu, Kamal," ujag Kawiswara, tegas. "Bergabunglah bersamaku sebagai kesatria yang berdiri untuk tanah kelahiranmu, rumahmu."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang