3. Kabar Buruk

197 29 0
                                        

Satu hari, dua hari, satu minggu, dua minggu, sampai sekarang sudah satu bulan lebih aku setelah aku menerbangkan surat ke istana melalui merpati putih yang Kamal curi di kantor pos, tapi aku belum juga ada balasan yang datang. Entah apa yang terjadi, namun semakin lama aku semakin khawatir dengan keadaan Laksana dan Lim di Ibu Kota. Setiap hari Nadia selalu menenangkanku dengan berkata kalau Laksana dan Lim akan baik-baik saja, namun hatiku tetap tidak bisa tenang.

Sekarang kami bertiga berada di tepi sungai, dengan serigala hitam besarku, si Tompel. Di atas batu, aku melihat Kamal meluruskan kakinya, dan di atas kedua pahanya terdapat seekor naga yang tengah menyandarkan kepalanya. Kamal menggerakkan tangannya mengusap kepala bayi naga yang kini mengisi hari-hari kami bertiga.

Aku duduk di tepi sungai, bersandar pada pohon. Di sampingku terdapat Tompel yang tengah meringkuk tidur. Serigala gunung ini juga mulai menerima kehadiran Senja si bayi naga yang aku namai. Sementara Nadia terlihat asik makan buruan kami di sungai, ikan bakar yang hambar.

"Belum ada tanda-tanda balasan dari surat itu," ujarku.

"Kamu masih memikirkan itu, Elok?" Nadia menoleh sejenak dengan mulut penuh daging ikan.

"Aku memikirkan Laksana dan Lim," jawabku. "Aku tidak bisa hanya berdiam diri di sini dengan perasaan tidak menuntu. Aku harus tahu keadaan mereka."

"Lalu kamu mau apa?" Giliran Kamal bertanya. Senja sudah bangkit sejak aku bicara, kemudian terbang ke arahku.

Aku diam berpikir. Sebenarnya aku sudah memikirkan apa yang ingin aku lakukan. Aku pun berkata dengan pelan, "Aku... aku pikir aku akan pergi ke Ibu Kota. Untuk mencari tahu soal Laksana dan Lim, sekaligus juga mengembalikan Senja ke istana."

Seolah mengerti apa yang aku katakan, Senja langsung bergerak gelisah. Dia merapatkan tubuhnya pada tubuhku, seolah tidak ingin berpisah denganku. Aku juga mulai merasakan hal yang sama dengan naga itu. Awalnya aku memang menolaknya karena aku sungguh khawatir karena memikirkan banyak hal buruk. Namun semakin lama hidup dengan naga itu, aku mulai merasakan kenyamanan. Sama seperti pertama kali aku bertemu dengan Tompel.

"Kamu gila?!" Nadia berdiri dari dudukmya dan menghampiriku. "Aku belum pernah menginjakkan kaki di Ibu Kota. Kita tidak punya gambaran bagaimana Ibu Kota itu dan kita tidak tahu apa yang terjadi di Ibu Kota sekarang. Itu adalah idemu yang paling gila, Elok."

Aku menghela napas panjang. "Kamu, Kamal dan Tompel sangat berarti bagiku. Kalian sahabatku, kalian juga tahu kisah hidupku lebih dari yang lain. Begitu juga dengan Laksana dan Lim. Mereka adalah orang yang sama berartinya bagiku, seperti kalian. Mereka sahabatku sekaligus orang tuaku."

Nadia berdecak. "Jangan nekat, Elok. Pikirkan segala kemungkinannya. Kamu bisa mati saat perjalanan. Di bawah kaki Gunung Virama, banyak bahaya yang mengancam."

Aku tersenyum, kemudian menepuk bahu Nadia. "Aku menyayangi kamu, Nadia. Begitu juga dengan kamu, Kamal. Aku menyayangi kalian. Aku tidak akan melibatkan kalian berdua, aku akan pergi sendiri membawa Senja."

"Aku tidak akan membiarkan kamu pergi sendiri." Kamal melompat dari batu, lalu menghampiri aku dan Nadia. "Aku akan ikut bersamamu."

"Kamal...."

Kamal menyela. "Sudah lama aku menantikan waktu ini, turun dari gunung dan menjalani petualang ke dunia luar. Sejak kecil aku selalu ingin hidup bebas dan memulai petualangan seperti Ayahku dulu, namun Mama selalu bilang aku masih kecil. Aku sering ikut ke pertemuan-pertemuan politik bersam Mama, namun sekarang berbeda. Aku ingin berpetualangan bersamamu, Elok."

"Kamal, Mamamu jauh lebih penting dari aku. Hanya kamu yang Ibu Gunung punya." Aku menolak. "Tetaplah bersama Ibumu. Dia butuh dirimu, Kamal. Kamu adalah anak tunggalnya, kamu satu-satunya perwaris takhta Gunung Virama. Aku tidak ingin kamu kenapa-napa jika tetap ikut bersamaku."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang