16. Negosiasi

19 4 0
                                    

"Elok, bangun!"

"Kamal, bangun!"

"Semuanya lihat!"

Rasa-rasanya semua terjadi begitu cepat. Aku tengah tertidur, bersandar pada tubuh Gerhana, lalu tiba-tiba aku terbangun saat Zaheer berteriak memanggil namaku dan Kamal. Aku terbangun dari tidurku dengan perasaan terkejut, takut kalau terjadi sesuatu. Tepat saat aku membuka mata, sebuah cahaya putih langsung menbuatku silau.

Aku menutupi wajahku dengan tangan untuk meminimalisir penerangan di depan, begitu juga dengan Kamal. Aku melihat Zaheer mengambil air dari botol di sambuknya, membentuknya sebagai senjata untuk bertarung. Aku bangkit dari baringku, menurunkan tangan dan menatap ke depan cahaya itu.

"Hey, kalian ini kenapa? Bersiap untuk bertarung!" kata Zaheer dengan keras. "Kamal, ambil senjatamu! Elok, cepat naik ke atas naga!"

Aku dan Kamal hanya menatap Zaheer tanpa mengambil tindakan, karena kami tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Kami tahu siapa satu-satunya orang yang bisa membuat cahaya terang seperti di hadapan kami. Dan benar, dari dalam cahaya itu mulai terlihat beberapa tubuh yang keluar dari sana.

Aku melihat Zaheer melemparkan airnya ke arah salah satu dari orang itu untuk menyerang, namun orang tersebut balas mengendalikan air tersebut. Air itu mengambang, membentuk gelembung-gelembung kecil. Cahaya di depan perlahan mulai meredup dan menghilang, menampilkan orang-orang di depan kami.

"Apa kabar, anak-anak?"

Kamal tersenyum, "Mama!"

Aku melihat wajah Zaheer yang bingung saat Kamal berlari dan memeluk seorang wanita yang keluar dari cahaya barusan.

"Tunggu, ini maksudnya apa?" tanya Zaheer.

Aku tersenyum, menatap Ibu Gunung, Arya, Wulan dan Minara yang hadir. Mereka adalah orang-orang yang barusan keluar dari cahaya putih, cahaya yang merupkan sebuah portal yang bisa membuat seseorang berpindah tempat dalam waktu singkat. Dan satu-satunya orang yang bisa melakukan itu adalah Wulan Purnama.

Wulan malah bertanya padaku, "Ini siapa, Elok?"

Aku terkekeh pelan. "Biar aku jelaskan."

"Zaheer, ini Wulan. Salah satu nama yang sering disebut Kawiswara dalam majelis kecil, dia adalah pemimpin kota Langit Jatuh," kataku, lalu menunjuk Arya. "Dan yang ini namanya Arya, dia sama sepertimu, Penyihir Air. Dia adiknya Wulan sekaligus anak bungsu dari Keluarga Purnama."

Zaheer hanya mengangguk-angguk. Kini gantian aku memperkenalkannya. "Dan, semuanya, perkenalkan ini Zaheer. Dia Penyihir Air berbakat, dia yang membantu aku, Kamal dan Nadia ketika mendapatkan masalah saat ingin pergi ke Kota Tua. Singkatnya, dia bergabung bersama kami."

"Senang bertemu denganmu, Zaheer," kata Wulan.

Semua yang ada di sana mengangguk.

"Dan, Zaheer. Perkenalkan ini Mamaku, wanita berbahaya di Viraksa, pemimpin Gunung Virama," sambung Kamal memperkenalkan Mamanya. "Orang-orang biasa memanggilnya, Ibu Gunung."

Zaheer tersenyum ke arah Ibu Gunung. "Senang bertemu denganmu, senang bertemu kalian semua di sini. Aku berharap bisa membantu banyak di sini."

"Lalu, di mana Nadia?" tanya Ibu Gunung, menatapku dan Kamal bergantian.

Aku dan Kamal saling menatap, sebelum laki-laki itu berkata, "Kalian pasti sudah tahu tentang semua yang terjadi, kan? Nadia sekarang berada di Kota Tua untuk berjaga di sana, mencegah mahluk-mahluk neraka itu untuk masuk dan menyebar."

Aku mendengar Wulan menghela napas. "Harusnya aku bisa membantu Viraksa untuk masalah ini, tapi—"

Aku bergerak menghampiri Wulan dan memegang kedua tangannya. "Jangan pikirkan itu, sekarang kita harus memikirkan Soraya dan Rama."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang