9. Bahaya

29 5 1
                                    

Aku duduk bersama ketiga temanku di atas kereta kuda untuk menuju pusat istana bersama dua anak dari Meutia, yaitu Mughal dan Martha. Mereka duduk di depan kami, sesekali menjelaskan pada kami tentang kota besar ini. Mughal dan Martha benar-benar ramah membuat aku dan ketiga temanku merasa nyaman dan aman.

Di perjalanan aku tidak henti menatap bentuk banguan-bangunan di wilayah istana ini. Sebuah candi-candi kecil yang berada di setiap sisi wilayah istana dengan ragam bentuk dan rupanya. Aku melihat sebuah candi kecil dengan bentuk yang dipahat menyerupai kepala naga, aku juga melihat sebuah candi berbentuk menyerupai pohon beringin, atau candi yang berbentuk seperti kelopak bunga mawar, dan masih banyak lagi.

"Di sini banyak sekali candi-candi, aku tidak bisa menghitung semuanya, bentuknya berbeda-beda," ujar Kamal. "Apa candi-candi itu memiliki kegunaan? Atau hanya sebuah tempat untuk berteduh?"

Aku melihat Martha tertawa pelan. "Candi-candi di sini hanya warisan nenek moyang kami yang sangat kami jaga. Biasanya candi-candi di sini menjadi tempat bermeditasi para prajurit selepas atau sebelum perang."

Mughal lalu menambahkan, "Konon katanya, dulu candi-candi di sini digunakan untuk masuk ke dunia lain."

Aku terkejut, "Dunia lain bagaimana?"

"Dunia lain di mana tempat orang-orang mati berada. Kita bisa berkomunikasi dengan orang yang telah mati contohnya," jawab Martha. "Candi-candi di sini memikiki energi mistik yang sangat kuat sehingga dapat membawa seseorang masuk ke dunia lain."

Aku dan teman-temanku tentu saja terkejut sekaligus meragukan fakta itu.

"Saat perang besar, dulu para orang terdahulu biasanya menggunakan candi-candi di tempat ini untuk berkomunikasi dengan para leluhur untuk meminta petunjuk, jawaban atau saran," tambah Mughal. "Ibuku sering melakukan itu beberapa waktu belakangan setelah terjadi Kudeta besar yang dilakukan para Penyihir."

Aku mengangguk paham. "Mungkin itu alasan kenapa Kota Tua tidak bisa ditaklukkan Sang Malam."

"Mungkin."

"Bagaimana caranya kita bisa berkumunikasi dengan orang yang telah tiada seperti yang kalian bilang tadi?" tanya Zaheer dengan penasaran. "Aku sangat ingin bicara dengan mendiang Ibu dan Ayahku. Barangkali kalian bisa membantuku?"

"Entahlah, tapi aku rasa tidak sembarang orang bisa melakukan itu," jawab Martha. "Aku dan Kakakku telah mencoba sekian kali dengan bermeditasi di candi-candi untuk berkomunikasi dengan para leluhur, tapi... kami tidak pernah berhasil, sampai sekarang."

"Hanya Ibu kami yang bisa," tambah Mughal.

Aku terdiam cukup lama, menatap tiap candi yang kami lewati dengan kereta kuda. Terlintas sesuatu di benakku.

Akhirnya setelah menempuh perjalanan dengan kereta kuda untuk sampai ke pusat istana, akhirnya kami semua tiba di sana. Kereta kuda berhenti di depan bangunan besar yang tua dan terlihat menyimpan kesan mistik di dalamnya. Mereka seolah sudah tahu aku dan teman-temanku akan datang, banyak prajurit yang berdiri rapih menyambut kami.

Pintu kereta kuda dibuka oleh salah satu dari prajurit di sana. Prajurit itu menunduk hormat pada Mughal dan Martha, lalu mempersilakan mereka untuk turun. Dia juga merunduk hormat padaku dan teman-temanku sambil berkata, "Selamat datang di Istana Kedaulatan Kota Tua tercinta. Biar saya bantu."

Prajurit itu mengulurkan tangannya padaku, spontan aku meraih tangannya dan turun dari sana diikuti ketiga temanku. Aku, Kamal, Nadia dan Zaheer sama-sama menatap sekeliling kami. Tempat ini benar-benar indah, meski terkesan tua dan menyeramkan. Di tiap undakan ada para prajurit berbaju besi yang berdiri tegak, dan di undakan paling atas aku melihat sosok wanita yang menjadi alasanku datang kemari.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang