Setelah pembicaraanku dengan Nadia tadi, kami tidak tidur lagi karena fajar telah datang. Pagi harinya Martha datang ke kamar kami bersama beberapa pelayan. Mereka datang dengan pakaian-pakaian bersih beserta pernak-pernik kerajaan yang begitu mencolok.
"Aku rasa kami tidak perlu ini semua," ujarku, menolak secara lembut pakian-pakaian kebangsawanan yang Martha berikan.
Nadia menambahkan, "Elok benar. Pakaian-pakaian ini tidak cocok untuk kami. Kami hanya anak-anak dari desa di Gunung Virama, kami pikir kami hanya butuh pakaian biasa."
Martha tersenyum dan tertawa pelan, aku terhipnotis dengan keanggunannya. "Kalian adalah tamu, maka sudah sepantasnya aku sebagai tuan rumah memberikan yang terbaik. Di istana hanya ada pakaian ini, jika kalian ingin pakaian biasa aku bisa menyuruh orang untuk membelikannya di pasar."
Mendengar itu aku langsung menolak. "Sepertinya itu lebih merepotkan, jadi tidak usah. Jika hanya ada pakian-pakaian ini, tidak apa-apa."
Nadia menambahkan, "Kami hanya butuh pakian, kami tidak butuh perhiasan. Itu terlalu mewah untuk aku dan Elok."
"Baiklah jika itu mau kalian." Martha mengambil dua pakaian dan menyerahkan pada aku dan Nadia. "Yang ungu ini untuk Elok, sepertinya sangat cocok untukmu. Dan yang merah hitam ini untuk kamu Nadia, kamu akan sangat menawan mengenakannya."
"Terima kasih," ujarku dan Nadia.
"Para pelayan ini akan membantu kalian di sini, jadi jangan sungkan untuk meminta bantuan," ujar Martha menunjuk para pelayan. "Setelah kalian siap, kita akan melakukan sarapan bersama Ibu."
Pagi itu aku dan Nadia bersiap menjalani hari, kami dibantu oleh beberapa pelayan yang Martha bawa. Mereka membantu kami memakai pakaian yang anak perempuan Meutia itu bawakan, membantu kami mengenak sepatu bak putri kerajaan. Mereka kembali menawarkan perhiasan, namun aku dan Nadia menolak.
Setelah kami berdua siap, kami dibawa keluar kamar untuk pergi ke ruangan untuk sarapan. Di pertengahan jalan, kami bertemu dengan Kamal dan Zaheer yang berpenampilan jauh lebih baik. Mereka sudah sangat segar, bersih dan wangi. Wajah Kamal yang semula penuh luka juga sudah diobati dan lebih segar.
"Astaga kalian cantik sekali!" ujar Kamal dengan antusias menatap aku dan Nadia. "Elok selalu cantik, tapi aku tidak pernah melihat Nadia secantik ini."
Aku tertawa pelan dengan candaan Kamal sambil menatap Nadia yang memasang wajah datar. "Aku tidak tahu kamu memujiku atau mengejekku."
Kamal mengenakan sebuah kemeja putih yang dibalut rompi perpaduan warna hitam dan emas dengan aksen burung-burung, dia juga mengenakan sebuah sabuk indah yang membuat tubuhnya terlihat lebih tegak. Aku terkejut saat melihat Kamal memperlihatkan isi dari dalam rompinya.
"Astaga! Siapa yang memberikan kamu semua itu?" tanyaku terkejut, karena aku melihat di dalam rompinya terdapat banyak pisau-pisau dengan berbagai macam ukuran.
"Mughal menghadiahkannya untukku." Kamal melipat tangannya di dada dengan senyum bangga. "Sepertinya dia tahu aku adalah seorang pejuang, jadi dia memberikan pakaian yang membuatku selalu siap siaga."
Aku hanya menggeleng, cukup takjub. Lalu aku menoleh pada Zaheer. Pakian yang dikenakannya tidak sama seperti punya Kamal. Zaheer mengenakan kemeja hitam sampai lehernya, dibalut mantel biru laut dengan aksen bulu-bulu lembut di sekitar pundaknya. Dia mengenakan sebuah sabuk dengan bandul m botol kecil.
"Itu apa?" tanya Nadia sambil menunjuk botol kecil yang tergantung di sabuk Zaheer.
Zaheer mengangkat botol itu, membukanya. Lalu dengan sihirnya, ia menarik sebuah air dari dalam sana. Air itu melayang-layang dan mengitari jari-jemarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Malam
FantasyDi dalam dalam gunung Viraksa hidup seorang gadis bernama Elok, yang merupakan anak haram dari Raja Viraksa. Sekilas Elok hanyalah gadis biasa yang tak memiliki kelebihan selain mata ungunya yang bisa melihat dalam gelap atau rambut birunya yang ind...