12. Badai dan Petir

54 10 1
                                        

Aku menatap tubuh Meutia yang masih tidak sadarkan diri di atas ranjang setelah serangan dari Jaka beberapa jam lalu. Aku tidak tahu harus berbuat apa, yang aku lakukan hanya menatap tubuh tua yang kini terbaring tidak berdaya. Aku bahkan tidak tahu apa Mahluk Bayangan itu sudah membelah diri dan masuk ke dalam tubuh Meutia atau belum.

Setelah serangan yang tiba-tiba ini, Mughal dan Martha selaku anak dari Meutia langsung mengerahkan pasukannya untuk menjaga Kota Tua lebih ketat lagi, menjaga tiap sudut istana dan memblokade kota mereka untuk beberapa hari ke depan. Biar bagaimanapun ini sungguh berbahaya.

"Jika kita terkena sebuah wabah atau penyakit, kita masih bisa membedakannya dari gejala dan tanda-tanda. Tapi kalau untuk yang satu ini, bagaimana kita membedakan orang yang kerasukan dan yang tidak?" tanya Kamal.

"Mungkin kita harus membuat semacam kata kunci yang hanya kita yang tahu agar dapat membedakan satu sama lain?" saran Zaheer.

Aku menggeleng, menatap kedua temanku. "Bayangan itu bisa menggunakan bakat dan pikiran dari inangnya, kemungkinan besar dia bisa juga mengetahui memori-memori di dalam otak orang yang dirasuki."

"Tapi aku bisa membedakan mereka."

Aku dan yang lain menatap Nadia. "Bagaimana?"

Nadia diam sejenak, lalu menarik napas. "Saat menghadapi para penjaga yang tengah kerasukan, aku merasa darah mereka berbeda."

"Berbeda bagaimana maksudmu?" tanyaku.

Nadia memejamkan mata, mengingat dan merasakan sesuatu. "Ketika aku menggunakan pengendalian raga pada mereka, rasanya berat dan cukup sulit. Darah mereka... tidak murni, tercapur sesuatu yang aku belum bisa pastikan apa itu."

"Kemungkinan besar para Mahluk Bayangan itu merasuki seseorang dan bersarang di darah," kata Nadia lagi.

Aku bangkit dari dudukku, menatap teman-temanku. "Berarti ini mangatakan bahwa para Penyihir Darah bisa membedakan mana orang yang kerasukan, dan mana yang tidak."

"Itu betul," sambung Zaheer. "Setidaknya kita masih ada harapan."

Kamal lalu bertanya, "Lalu, Nadia, bagaimana dengan Meutia? Apa kamu merasakan ada yang berbeda dari darahnya?"

Nadia menggeleng, sambil tangannya bergerak meraba kulit Meutia. "Tidak ada yang berbeda. Sepertinya Mahluk Bayangan di tubuh Jaka belum sempat membelah diri dan masuk ke tubuh Meutia."

Aku menghela napas panjang. "Syukurlah!"

Pintu kamar tiba-tiba terbuka dan menampilkan sosok Martha dengan keadaan kurang rapih. Wajahnya tidak bergairah, jalannya sedikit gontai dan matanya sembab. Dia menatap ke arah Ibunya dengan penuh rasa sedih.

"Aku sudah menyiapkan perbekalan untuk keberangkatan kalian malam ini," ujar Martha. "Tapi, kalian yakin ingin berangkat saat ini juga? Kalian baru tiba kemarin."

Nadia, Kamal dan Zaheer serentak langsung menatapku. Aku hanya mengangguk membalas perkataan Martha. "Aku harus mendatangi Kawiswara secepatnya untuk memberi tahu masalah ini. Biar bagainanapun sekarang dia adalam pemimpin tertinggi negeri ini, perwaris takhta kerajaan."

Aku menghampiri Martha, menepuk bahunya. "Aku minta maaf atas apa yang terjadi pada Ibumu."

"Ini bukan salahmu, Elok." Martha berusaha tersenyum meski berat. "Justru aku harus berterima kasih pada kamu dan kalian semua. Jika tidak ada kalian, aku tidak bisa menbayangkan apa yang akan terjadi pada Ibuku dan kita semua di kota ini."

Aku lalu memeluk tubuh wanita itu beberapa saat. "Semua akan baik-baik saja. Ibumu masih Ibumu, mahluk itu belum sempat masuk."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang