15. Tapi aku masih berdiri

124 21 2
                                    

Rembulan mendarat dengan selamat di darat bersama aku yang dipangsu oleh Lim di atas pelana. Setelah terbang mengelilingi cakrawala beberapa menit, Lim memerintahkan naganya yang berwarna putih itu untuk turun. Kami bertiga mendarat dengan selamat di halaman rumahku. Saat kami turun, aku melihat naga hitam yang sedikit lebih besar dari ukuran Rembulan tertidur tak jauh dari rumahku.

Setelah turun dari atas naga dibantu oleh Lim, aku yang saat itu masih berusia tujuh tahun bertanya, "Aku ingin menaiki naga itu juga."

Naga hitam itu namanya adalah, Pudar. Naga itu merupakan naga milik Laksana. Pudar sedikit lebih besar ukurannya ketimbang ukuran tubuh Rembulan, usianya pun lebih tua dari naga putih milik Lim. Jika aku diperbolehkan dekat dengan Rembulan, lain hal dengan Pudar. Lim atau Laksana sendiri melarangku untuk dekat-dekat dengan naga hitam itu.

Lim menggerakkan jarinya. "Peraturan lama masih sama. Kamu tidak boleh dekat-dekat dengannya."

Aku bertanya, "Tapi, kenapa? Aku boleh dekat dengan Rembulan, tapi kenapa aku tidak boleh dekat dengan Pudar. Aku ingin berkenalan dengannya."

Belum sempat Lim menjawab, si pemilik naga sudah keluar dari dalam rumahku. Laksana menuruni beranda sambil tersenyum. Dia menyapaku sambil berkata, "Bagaimana rasanya naik naga, Tuan Puteri?"

Aku menjawab dengan antusias. "Rasanya... aku tidak tahu bagaimana aku bisa mengungkapkannya. Tapi aku senang."

Laksana terkekeh, mengacak rambutku. "Kamu adalah aku yang ditanya saat pertama kali menaiki naga. Memang betul, sulit diungkapkan bagaimana rasanya. Tidak ada yang tahu bagaimana rasanya naik naga sebelum orang itu merasakannya sendiri."

Aku yang saat itu masih kecil hanya tertawa. "Kapan kamu mengajak aku menaiki naga hitam itu?"

Laksana mendadak terdiam, dia menatap Lim sebelum berkata, "Kamu belum lupa dengan peraturan yang kita buat, kan?"

Aku cemberut. "Tidak boleh dekat-dekat dengan Pudar."

"Tepat sekali." Laksana menggandengku masuk ke dalam rumah, diikuti Lim di belakang. "Mungkin kamu bisa dekat dengan Rembulan, tapi tidak dengan Pudar. Dia bukan naga yang ramah seperti naga milik Lim. Pudar itu ganas dan sadis, dia tidak bisa diganggu dan tidak bisa percaya pada orang selain diriku. Dia bisa menyakitimu, meski ada aku di dekatmu."

"Maksudmu... aku akan dimakan olehnya?"

Laksana terdiam. "Lebih buruk dari itu."

Blak-blakan, Lim menjawab di belakang. "Kamu bisa disemburkan oleh api dari mulutnya. Itu jauh lebih menyakitkan daripada dimakan olehnya."

Aku menjadi sedikit takut. "Benar begitu, Laksana?"

Laksana mengangguk sambil tersenyum.

Mungkin dari ekspresi dan respon yang aku berikan pada Lim dan Laksana, mereka akan percaya. Namun kenyataan yang ada di dalam hatiku berbeda. Aku bukan takut—mungkin ada rasa takut, tapi sedikit. Aku malah penasaran dengan naga hitam yang dipanggil, Pudar. Naga putih milik Lim sudah mengenalku dan dia jinak denganku, namun tidak dengan Pudar. Aku ingin berkenalan dengannya.

Malam itu aku terbangun dari tidurku, aku menoleh ke samping di mana Lim tertidur di sampingku dan Laksana tertidur di tanah beralaskan tikar. Aku haus, lalu dengan hati-hati bergerak untuk mengambil minum. Aku meminum air dari gelas yang terbuat dari tanah merah, lalu berniat kembali tidur.

Namun aku mengurungkan niatku saat melihat jendela rumahku masih terbuka. Aku pun bergerak ke arah sana dan berniat menutup jendela dengan tirai. Namun tanpa sengaja pandanganku jatuh ke arah naga hitam besar di luar sana yang nyaris menutupi rumah kayuku. Naga itu tengah tertidur pulas di sana, sementara naga putih milik Lim tidaka ada di sana entah ke mana.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang