19. Eksekusi

9 4 0
                                    

Aku menatap tiga telur naga yang berada dalam sebuah peti besi yang dikelilingi api. Aku tidak bosan menatap tiga telur yang berhasil aku selamatkan. Tiga telur itu kini diletakkan di salah satu gua kecil di wilayah Istana Langit Jatuh, dijaga tiga Penyihir Api yang bertugas menjaga api agar tetap menyala dan menghantarkan panas yang stabil.

Aku pikir saat aku datang membawa Si Merah dan tiga telurnya ke dalam istana ini orang-orang akan mengapresiasi apa yang aku lakukan. Aku pikir dengan membakar bala Tentara Ruksahale, orang-orang akan bertepuk tangan untukku. Tapi aku salah, siapa yang menyangka kalau mereka malah menyalahkanku?

"Elok, kamu sudah berada di dalam sini sejak siang hari tadi," kata Kamal yang baru masuk ke gua ini.

Tanpa mengalihkan pandanganku dari telur-telur di atas peti besi itu aku menjawab, "Aku sedang menatap masa depan negeri ini, Kamal."

"Tidak, kamu hanya menghindari orang-orang," kata Kamal.

Aku lalu menoleh ke arahnya. "Aku hanya ingin membantu, dan aku memang harus melakukan itu. Kenapa mereka tidak ada yang mengerti?"

"Mereka menghargai usahamu, Elok. Mereka hanya mengecam tindakan yang kamu lakukan, dengan membakar bala Tentara Rukshale." Kamal menghela napas panjang. "Tindakanmu dinilai gegabah dan tidak berpikir panjang."

"'Mereka hanya tidak paham tentang naga," kataku. "Mereka sudah hilang harapan untuk menang, mereka sudah goyah semenjak Soraya dan Rama ditangkap. Aku hanya tidak ingin bangunan ini jatuh ke tangan orang jahat itu."

"Elok dengar aku." Kamal tiba-tiba meraih kedua bahuku, membuat mataku menatap matanya. "Kamu sadar apa yang kamu lakukan? Karena seranganmu yang sepihak, Jenderal besar Rukshale murka dan akan melakukan eksekusi pada Soraya dan Rama. Keputusan itu sudah mutlak, dia menolak negosiasi."

Aku hanya diam tidak menjawab. Yang dikatakan Kamal memang benar, aku terlalu gegabah untuk bertindak. Karena perbuatanku Soraya dan Rama akan dieksekusi mati, itu yang membuat semua orang menyalahkanku. Bahkan Wulan dan Arya enggan untuk bicara denganku beberapa hari ini.

"Lalu sekarang aku harus apa?" tanyaku dengan putus asa. "Semua sudah terjadi. Aku tidak bisa mengulang waktu."

Kamal mendesah berat, dia melangkah mundur sambil memijat keningnya. "Aku akan pikirkan ini."

"Apa kita bisa meminta bantuan ke Ibu Kota?" tanyaku.

"Kita kehabisan waktu, eksekusi Soraya dan Rama akan diadakan dua hari lagi," kata Kamal, lalu melangkah pergi. "Aku akan mencari cara untuk masalah ini, jangan bertingkah konyol lagi."

Aku hanya diam, menyimak suara dari langkah sepatu yang Kamal buat. Aku diam cukup lama, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah tiga telur naga di atas peti yang dikelilingi api. Lalu aku menatap tiga Penyihir Api yang menjaga telur, ketiganya terdiri dari pria gagah.

Salah satu dari mereka berkata padaku, "Kecil jadi kawan, besar jadi lawan. Itulah gambaran untuk api yang dulu aku dengar saat masih kecil. Tapi kamu tahu? Kita masih bisa berkawan dengan api saat dia menjadi besar, asal kita tahu cara mengendalikannya."

Aku tidak mengerti maksud dari perkataannya, tapi aku tahu ada maksud dari perkataannya itu.

Tidak lama setelah Kamal pergi, aku ikut melangkahkan kaki dari ruangan tiga telur naga itu. Aku berjalan membelah lorong yang sepi, berjalan untuk kembali ke kamarku. Saat aku sudah sampai di kamar, aku melihat Zaheer terduduk sambil melamun.

"Aku minta maaf," kataku.

Zaheer menoleh. "Untuk apa?"

Aku menghela napas panjang, bergerak menghampirinya. "Karena aku gegabah, kamu pasti menerima kata-kata tidak menyenangkan dari orang-orang di dalam istana."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang