Aku belum pernah sama sekali berkunjung ke Guntama, atau yang sekarang menjadi Ibu Kota baru setelah Ibu Kota yang lama menjadi gelap seperti malam akibat ulah Sang Malam. Setelah tiba melewati perbatasan dan disambut oleh para prajurit, kini aku, Kamal, dan Zaheer bergerak ke pusat kota untuk bertemu Kawiswara selaku pemegang takhta tertinggi Viraksa sekarang.
Aku dan kedua temanku menaiki kuda, dipandu oleh beberapa pria berbaju besi dengan pedang panjang di pinggangnya. Di jalan, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari langit. Suasana di kota ini dingin dengan langit yang mendung. Padahal sekarang masih siang, tapi gambaran langit di Guntama seperti menunjukkan waktu sebelum malam.
"Apa tempat ini memang selalu begini?" tanyaku pada seorang pria di depan.
Dia menoleh sejenak. "Maksudmu?"
"Maksudku, selalu mendung dan dingin."
"Tidak juga, tapi lebih sering begini," jawabnya. "Mungkin hanya tiga kali dalam sepekan kami merasakan panas dari matahari. Selebihnya seperti ini, mendung dan dingin."
Aku mengusap lenganku yang sedikit menggigil karena suhu di tempat ini. Sedari tadi angin tidak berhenti berhembus, mengalirkan rasa dingin yang masuk sampai ke tulang. Ditambah pakaianku sedikit basah karena melewati perbatasan beberapa menit yang lalu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Kamal di sampingku yang duduk di atas kudanya.
Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit merasa dingin. Pakaianku basah karena melewati perbatasan."
Mendengar ucapanku, Kamal langsung menoleh ke belakang. "Zaheer, sepertinya ada yang butuh bantuan."
Setelah mengatakan itu, aku merasakan tapak kuda yang perlahan mendekat. Saat aku menoleh, Zaheer sudah berada di sampingku bersama kudanya. Dia lalu menggerakkan tangannya, saat itu aku merasakan rasa basah di pakaianku mulai tertarik. Aku melihat bulir-bulir air keluar dari kain pakaianku dan bergerak di tangan Zaheer.
Laki-laki itu melepaskan kendali pada air tersebut, membiarkannya jatuh ke tanah. "Sudah lebih baik?"
Aku meraba pakaianku yang sudah kering dalam waktu hitungan detik. "Sudah, terima kasih."
"Kamu Penyihir Air?"
Aku, Kamal dan Zaheer serentak menoleh ke belakang dan menatap seorang pria dengan kepala yang tampak kecil di antara baju besi yang melekat pada tubuhnya. "Ya," jawab Zaheer.
"Biasanya Penyihir tidak diterima di sini," ujarnya.
Aku dan Zaheer saling menatap, lalu aku menjawab, "Tapi dia temanku."
Pria itu menghela napas dengan wajahnya yang sinis. "Pastikan dia selalu berhati-hati, jangan gunakan kekuatannya untuk hal yang tidak penting. Orang-orang di sini tidak toleransi dengan kaum tersebut, bahaya lebih banyak di sini, Nak."
Aku hanya mengangguk sebagai balasan.
Setelah cukup lama melewati pelosok Guntama, melewati banyak gang-gang di kota tersebut dan bertatapan dengan para penduduk di sana, akhirnya kami tiba di pusat kota. Dari sana kami bisa melihat besar dan megahnya istana Ibu Kota yang dijaga ketat oleh banyak prajurit, dan, "Naga," ujarku.
Di samping, Kamal bertanya, "Apa?"
Aku mengangkat tanganku, menunjuk ke langit yang mendung. Di sana aku dan teman-temanku melihat ada beberapa naga yang terbang di langit kota. Naganya terlihat kecil seperti burung jika dilihat oleh orang awam, tapi dari atas kuda aku bisa melihat jelas corak, warna dan ukuran naga-naga tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Malam
FantasyDi dalam dalam gunung Viraksa hidup seorang gadis bernama Elok, yang merupakan anak haram dari Raja Viraksa. Sekilas Elok hanyalah gadis biasa yang tak memiliki kelebihan selain mata ungunya yang bisa melihat dalam gelap atau rambut birunya yang ind...