21. Pengkhianat

10 3 0
                                    

Satu tahun lalu aku hanyalah gadis desa yang bekerja di sebuah ladang jagung milik salah satu Kepala Desa di Gunung Virama. Aku tidak berpikir nasibku akan berubah drastis menjadi seorang penunggang naga—dua naga—dan menjadi sosok yang dipercaya sebagian orang akan menjadi penerang dalam malam panjang.

Pertanyaannya, apakah aku sendiri percaya dengan anggapan orang-orang itu? Entahlah, aku bodoh dalam sejarah, aku tidak belajar banyak tentang dunia luar seperti Kamal atau anak-anak pejabat lain. Yang aku tahu, Kaum Cahaya adalah ras manusia yang jumlahnya sedikit dalam beberapa dekade ini.

Umumnya keturunan Kaum Cahaya murni memiliki mata ungu dan rambut biru gelap, kebanyakan dari mereka memiliki kemampuan bisa melihat dalam kegelapan dan jarak jauh. Lim pernah bilang kalau sebagian kecil dari Kaum Cahaya bisa mengendalikan naga. Aku bisa melakukan yang semu orang bilang, dan aku adalah garis keturunan terakhir Kaum Cahaya.

"Kamu telihat bersinar dengan pakian pelindung itu," kata Kamal.

"Ya, kamu benar-benar terlihat perkasa seperti seorang prajurit, Elok," sambung Zaheer. "Prajurit Naga."

Aku hanya tersenyum, menatap diriku di pantulan cermin. Tubuhku yang kurus ini terpasang beberapa pakaian pelindung yang terbuat dari besi. Besi pelindung itu berada di kedua pergelangan tanganku, melinkari perutku dan kedua lututku. Hal itu membuat tubuhku terlihat lebih tegak.

"Sejujurnya aku belum terbiasa dengan pakaian ini," kataku.

Zaheer menepuk-nepuk bahuku. "Kamu harus terbiasa, karena kamu adalah pejuang."

Kamal datang membawakan sebuah benda kecil untuk menjaga ikatan rambutku tetap kencang saat nanti aku menunggangi naga. Benda itu bentuknya seperti mahkota dengan bagian bawah yang lancip untuk ditusukkan pada ikatan rambut. Benda itu berwarna silver dengan aksen batu-batu biru.

"Ini dari Mamaku," kata Kamal. "Biasanya dia memakai ini untuk pertemuan-pertemuan formal untuk menjaga ikatan rambutnya agar tetap tegak. Dia sekarang memberikannya padamu agar rambutmu tetap kencang saat terbang nanti."

"Terima kasih."

"Biar aku pakaiakan," kata Kamal, menolak tanganku yang berniat mengambilnya.

Aku merasa nyaman dan tenang saat Kamal menusukkan tusuk rambut itu pada ikatan di kepalaku. "Ngomong-ngomong apa kalian sudah melaksanakan apa yang aku minta?"

Kamal mengangguk. "Ya, aku dan Zaheer sudah menyebarkan gosip-gosip di kalangan warga sipil tentang serangan ini. Sejak gosip itu beredar, satu demi satu rakyat Langit Jatuh mulai keluar dari kota. Mereka meninggalkan rumah-rumah mereka."

"Lalu bagaimana dengan Rukshale?"

"Sepertinya mereka juga sudah mempersiapkan semuanya jika serangan datang," timpal Zaheer. "Tapi kamu tidak perlu takut karena mereka mulai kehabisan senjata dan bahan-bahan bakar karena terus menyerang bangunan ini beberapa minggu belakangan ini. Mereka pasti tidak akan bertahan lama."

"Bagus kalau begitu. Aku yakin kita bisa menang kali ini," kataku. "Serangan ini mendadak, tidak ada yang tahu kapan akan terjadi. Karena yang merencanakan ini hanya kita bertiga."

Tepat setelah aku mengatakan hal terakhir, pintu kamar kami diketuk dengan tidak santai. Hal itu jelas mengganggu kami, alhasil Kamal berjalan keluar dan membuka pintu. Saat baru membuka pintu, tubuhnya langsung terpelanting saat sebuah angin menabraknya.

Aku dan Zaheer jelas terkejut. Zaheer berniat menolong Kamal, namun sebuah api menghantam tubuhnya hingga menbuatnya juga terjatuh. Saat dua temanku itu tidak bedaya, tiga orang Penyihir masuk ke dalam kamar. Dari seragamnya aku bisa tahu kalau mereka adalah Tentara Kedua.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang