14. Dan aku benar-benar mati

110 18 1
                                    

Baghra meruntuhkan Istana Langit Jatuh yang menjadi rumah Purnama Bersaudara sekaligus pusat kedaulatan Langit Jatuh dengan api naga, dan aku membalasnya dengan hal yang sama. Aku meruntuhkan pasar budak yang menjadi tempat dia mendapatkan uang, dan aku juga meruntuhkan rumahnya. Namun apa yang aku lakukan nampaknya akan berdampak besar bagiku.

Aku tidak mengenak Baghra sebelumnya, dan aku tidak tahu apapun tentangnya. Namun sekarang, di udara dan di atas naganya yang berwarna merah dia menatapku penuh amarah. Aku tidak tahu aku harus takut atau bagaimana, yang jelas aku tidak tahu harus apa. Aku hanya bisa diam di atas nagaku yang terus mengepakkan sayap.

"Kamu pikir kamu telah melakukan hal yang benar, heh? Kamu salah. Kamu melakukan hal yang salah!" Baghra secara terang-terangan menunjukkan amarahnya yang meledak.

Lalu detik selanjutnya dia melakukan hal yang membuatku terkejut. Baghra, si nenek tua bermata satu itu membuka kain yang menutupi satu matanya. Aku terkejut, menatap satu matanya yang selama ini ia tutupi dengan kain hitam. Satu matanya memiliki warna yang sama dengan mataku. Ungu. Dan yang memiliki bola mata ungu hanyalah....

"Kaum Cahaya," ujarku. "Kamu adalah Kaum cahaya, sama sepertiku. Bagaimana—"

Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Rembulan mengaum meras. Nagaku tiba-tibe menggerakkan kepalanya membuat tubuhnya bergerak tak terkendali. Aku terkejut dengan pergerakkan yang tiba-tiba, spontan aku langsung meraih pegangan pada pelana. Naga putih itu mengaum berkali-kali sambil terus bergerak tak terkendali.

"Rembulan, kamu kenapa?"

Aku benar-benar tidak tahu harus apa. Rembulan tampak kesakitan, namun aku tidak tahu apa yang terjadi padanya. Aku mengencangkan peganganku, lalu menoleh ke arah Baghra. Nenek tua itu tertawa kencang melihatku yang kesulitan. Apa yang telah dia lakukan pada nagaku? Belum sempat aku mendaptkan jawaban, Rembulan mengepakkan sayapnya pergi dari tempat itu.

Rembulan terbang dengan tidak terkendali dan tidak teratur, dia masih terus mengaum. Entah apa yang coba ia sampaikan padaku. Kadang ia terbang tinggi lalu menungkik tajam ke bawah hingga membuatku berteriak, kadang juga memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. Satu peganganku terlepas dari pelana, membuatku panik.

Tubuhku jatuh dari pelana, namun satu tanganku masih meraih pelana. Rembulan terus terbang tak beraturan dan terus mengaum keras, sementara aku berusaha mengencangkan pedanganku meski hanya satu tangan. Namun nasib baik tidak berpihak denganku kali ini. Peganganku terlepas karena tubuh Rembulan yang terus bergerak tidak teratur. Aku terjatuh.

Satu-satunya yang bisa aku lakukan saat itu adalah berteriak, sebelum akhirnya aku melihat seseorang dari arah lain terbang dan menangkap tubuhku. Aku memejamkan mata saat dia berhasil meraih tubuhku. Saat perlahan aku mulai membuka mata, aku melihat Ramzi dengan wajah seriusnya terbang dan bersiap untuk mendarat.

Kami mendarat dengan mulus di tengah pertempuran, namun detak jantungku masih belum setabil. "Terima kasih," ujarku.

Ramzi mengangguk. Sebelum memulai kata dia menembakkan sebuah asap hitam dari tangannya ke arah musuh yang mendekat. Dia lalu bertanya, "Apa yang terjadi dengan naga itu?"

Aku sontak menoleh ke arah Rembulan yang masih terbang tak beraturan di angkasa. Dia terus mengaum, mengisi kericuhan di medan pertempuran. Aku pun menggeleng. "Aku juga tidak tahu."

"Baghra. Itu ulahnya."

Aku dan Ramzi menoleh, menatap Soraya yang menghampiri kami di tengah pertempuran. Pakaian wanita itu sudah compang-camping, rambutnya yang semulanya tergerai rapih kini sudah tidak tertata, perhiasan di tubuhnya sudah kusam karena terkena debu dan abu kebakaran, begitu juga dengan wajahnya.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang