Orang-orang di gunung tahu kalau aku adalah anak haram sang Raja, aku diasingkan ke sebuah tempat yang penuh dengan cinta di dataran tinggi Virama. Aku tinggal sendiri di rumah kayu yang cukup kokoh, aku dibesarkan langsung oleh alam Virama. Aku dibesarkan di atas tanah yang subur, dibesarkan oleh cinta orang-orang di sana, dan dididik oleh dua pengawal Raja berhati tulus.
Lim dan Laksana adalah orang tuaku. Lim menjadi sosok yang keras dan tegas membuatku kuat menjalani hidup yang penuh dengan kesindirian, sementara Laksana menjadi sosok yang hangat dan pengertian. Laksana mengajarkanku caranya memandang dunia, mengajarkanku bagaimana kekuatan cinta dan kasih. Namun, aku kehilangan mereka.
Aku ingat betul, saat itu usiaku tujuh tahun. Untuk pertama kalinya aku menunggangi seekor naga, lebih tepatnya diajak menunggangi naga. Aku duduk di atas pelana bersama Lim, kami menaiki naga putihnya yang ia beri nama, Rembulan. Beberapa menit awal di ketinggian aku gemetar ketakutan sambil terus menutup mata.
Aku merasa Lim memelukku dari belakang. "Elok, bukalah matamu, anak manis. Kamu harus melihat ini."
Awalnya aku tidak mau membuka mata, namun setelah dipaksa terus menerus akhirnya aku memberanikan diri membuka mataku. Dan tepat saat aku membuka, aku tidak merasa lagi ketakutan. Yang aku lihat hanyalah sebuah keindahan di mana langit sore dan lautan awan.
"Indah?" tanya Lim.
Aku tidak menjawab, beberapa saat aku hanya diam memandangi keindahan cakrawala yang tidak tertandingi. Aku menoleh ke setiap obyek di sana. Aku memelihat beberapa burung yang terbang di antara lautan awan untuk pulang, aku juga mendengar pekikan-pekikan elang di antara deru angin, dan yang paling tidak bisa aku lupakan, aku melihat beberapa bintang yang bersinar.
"Ini indah," ujarku.
Aku merasakan pelukan hangat dari Lim di belakang, dia mengecup kepalaku. "Dunia ini akan tetap indah jika semuanya menempatkan diri mereka dengan porsinya masing-masing."
Aku tidak mengerti, hanya mendongak menatapnya dengan polos.
"Semua mahluk yang tercipta di dunia ini bukanlah tanpa alasan, mereka memiliki peran masing-masing," ujar Lim. "Mulai banyak orang-orang jahat bermunculan untuk menghancurkan apa yang telah orang-orang terdahulu bangun. Semakin lama dunia akan semakin kejam, maka jangan berpikir untuk menjadi penjahat. Pikirkanlah bagaimana caranya menyelamatkan dirimu, dan juga orang lain."
"Aku ingin menjadi sepertimu, Lim. Aku ingin menunggangi naga, aku ingin punya naga agar bisa melihat pemandangan ini setiap hari," ujarku polos.
Lim terkekeh. "Kamu akan memilikinya anak manis. Namun perlu kamu ingat, naga bukanlah hewan biasa. Mereka bukan hewan seperti anjing atau kucing, naga bukanlah peliharaan."
"Lalu, naga itu seperti apa?" tanyaku.
"Naga itu adalah gambaran dirimu. Tidak semua orang bisa menaklukkan seekor naga, karena tidak semua orang bisa menaklukkan diri mereka sendiri."
Lim lalu lanjut berkata, "Saat naga turun dalam pertempuran, tidak akan ada yang tersisa selain api dan kematian. Maka dari itu, kamu harus bisa mengendalikan api dalam nagamu dan api ambisi dalam dirimu. Satu semburan api naga bisa berpengaruh untuk seratus tahun ke depan."
Lalu aku bertanya dengan polosnya, "Maksudmu mengendalikan api seperti penyihir api?"
"Kamu akan mengerti nanti, gadis kecil."
Saat itu mungkin aku masih terlalu kecil untuk mengerti maksud perkataan Lim tentang naga dan bagaimana alam semesta bekerja. Namun sekarang aku mulai mengerti satu-persatu dari perkataan Lim. Serpihan-serpihan ingatan dari perkataan-perkataan Lim yang telah aku lupakan mulai aku ingat kembali. Tentang diri ini, api, naga dan dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebelum Malam
FantasíaDi dalam dalam gunung Viraksa hidup seorang gadis bernama Elok, yang merupakan anak haram dari Raja Viraksa. Sekilas Elok hanyalah gadis biasa yang tak memiliki kelebihan selain mata ungunya yang bisa melihat dalam gelap atau rambut birunya yang ind...