24. Sang Pagi

39 7 2
                                        

Aku masih di Desa Sukacita sampai sore tiba. Aku berdiri di salah satu tebing di sana, menatap kegitan orang-orang di dalam bawah tanah ini. Mereka hidup dengan penuh canda tawa di antara para Hiraeth yang menbantu mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Aku hanya diam sambil bertanya-tanya sebenarnya aku ini apa?

Aku yakin Kamal dan semua orang di Langit Jatuh pasti khawatir atas kepergianku yang tiba-tiba, tapi aku tidak berusaha untuk kembali saat itu. Yang aku lakukan hanya berdiam diri di atas tebing itu sambil menatap keristal-kristal di langit-langit yang menyala, memberikan keterangan pada orang di dalam.

"Kamu tahu kenapa Hiraeth bisa bertahan selama puluhan tahun?"

Aku menoleh ke belakang saat Safina datang dan bicara. "Aku tidak punya urusan dengan itu."

Aku bisa merasakan wanita itu melangkah mendekatiku. "Hiraeth adalah perampok kelas kakap yang sulit untuk dilumpuhkan oleh pasukan Viraksa sekalipun. Semua itu karena kami bersembunyi di bawah sini."

"Tempat ini besar dan luas, naga tidak bisa masuk ke dalam sini," kata dia. "Satu-satunya senjata pemusnah masal adalah para naga. Tapi mereka tidak bisa menembus tempat ini karena Kota Sukacita dijaga oleh cinta dan kesetiaan."

Aku menatapnya tanpa rasa penasaran atas apa yang dia ceritakan, aku lalu beranjak dan mulai pergi.

"Aku tahu lebih banyak tentang Kaum Cahaya."

Padahal aku tidak mau percaya pada wanita ular itu, tapi anehnya aku berhenti melangkah.

Dia lalu lanjut berkata, "Banyak yang kamu tidak tahu, Elok. Kamu masih terlalu belia untuk mengemban tanggungjawab besar ini. Tapi... itu bukan masalah selagi kamu mau berjuang."

Safina kembali mendekat ke arahku yang memunggunginya. "Aku salah, Elok. Aku salah jalan. Aku hilang arah saat itu sampai aku masuk ke dalam lubang yang membuatku seperti ini."

Aku menoleh. "Apa maksudmu?"

"Saat masih kecil aku selalu mendengar cerita rakyat tentang sebuah ramalan, tentang malam panjang yang akan datang," ujar Safina. "Aku selalu senang tiap kali ada orang yang bercerita tentang cerita itu, tentang ramalan itu."

"Mereka mengatakan akan ada satu orang jahat yang akan membuat seisi dunia gelap gulita dalam waktu yang panjang. Dia jahat dan sudah tercabik oleh dosa." Safina terkekeh, matanya berkaca-kaca. "Tapi aku selalu senang mendengar cerita rakyat itu. Kamu tahu, kenapa?"

"Kenapa?" tanyaku.

"Karena setelah terjadinya malam panjang, ada satu dari kita yang bisa melihat dalam kegelapan sejernih mata memandang." Safina tersenyum, tampak membayangkan sesuatu. "Dia digambarkan memiliki mata ungu, rambut biru dan menunggangi seekor naga. Dia adalah Kaum Cahaya terakhir yang ada."

"Saat aku berada di masa terendahku, aku bertemu dengan Sang Malam. Dia memiliki ciri-ciri dari Kaum Cahaya itu. Aku dengar juga dia adalah Kaum Cahaya terakhir saat itu," kata Safina. "Saat itu aku percaya padanya, dia bisa membuatku percaya."

"Di mana kalian betemu?" tanyaku lagi.

"Rukshale."

Aku terkejut. "Harsa bilang kamu berasal dari tempat ini. Lalu kenapa kamu bisa berada jauh di negara itu?"

"Saat itu aku masih sangat kecil untuk mengungkapkan rasa sedihku atas kehilangan yang aku rasakan waktu itu," katanya. "Aku berkelana, keluar dari Kota Sukacita dan melalang buana keluar sampai akhirnya aku tiba di Rukshale."

Wanita itu lalu lanjut berkata, "Di sana aku bergabung dengan sekelompok Penyihir yang memiliki tujuan yang sama. Balas dendam atas penindasan yang dilakukan terhadap ras kami. Dan saat itu Sang Malam menjadi ketua dari kelompok itu."

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang