2. Biru dan Ungu

156 28 0
                                    

Aku mulai menulis surat terkait tersesatnya bayi naga di rumahku sejak sebelum matahari terbit untuk dikirim ke Istana, lebih tepatnya pada Laksana dan Lim. Aku bukan orang yang pintar merangkai kata-kata, alhasil aku pun meminta Nadia dan Kamal memeriksa isi suratku untuk memastikan semuanya sudah benar dan tidak ada salah kata. Namun Nadia malah mencemooh gaya menulisku. Alhasil dia membuang suratku dan menuliskannya ulang.

Hari ini aku bolos bekerja hanya karena menyiapkan surat untuk dikirim ke istana, aku ditemani dua sahabatku. Pada siang harinya surat sudah siap untuk dikirim, tanpa menunggu waktu lama kami bertiga pun segera turun dari gunung untuk sampai di Kantor Pos Merpati yang letaknya berada di kaki gunung. Namun saat sampai di sana, kami malah menelan kecewa.

"Semua surat akan diterima, kecuali ke Ibu Kota, apalagi ke Istana Negara," ujar penjaga kantor pos. "Surat tidak bisa keluar ataupun masuk untuk sementara ke Ibu Kota. Tempat itu di blokade untuk sementara."

Aku tersentak kaget mendengar perkataan pria bertubuh kerdil penjaga pos itu. "Kenapa?"

Kamal ikut menimpal, "Memangnya ada apa? Apa terjadi sesuatu di Ibu Kota sana hingga membuat surat tak dapat keluar atau masuk?"

Pria itu menghela napas. "Aku tidak tahu pasti, yang jelas kini Ibu Kota tengah mengalami masalah. Apa masalahnya? Aku tidak tahu. Namun sepertinya ini ada kaitannya dengan kudeta dan politik."

Aku dan teman-temanku tersentak kaget. Kudeta?

"Kami punya uang, Pak." Nadia membuka kantong kain dan menunjukkan beberapa koin emas. "Kami bukan anak remaja yang iseng, kami punya uang untuk mengirim surat. Kami akan memberikan bayaran lebih untuk surat kami. Ini penting, jadi tolong berikan merpati untuk menerbangkam surat ini ke Ibu Kota."

"Sudah aku bilang tidak bisa, ya tidak bisa!" Penjaga itu marah, menggebrak meja membuat beberap pengunjung memperhatikan kami. "Ini bukan masalah uang, Nak. Ini perintah dari kerajaan. Sejak beberapa hari lalu sampai waktu yang belum ditentukan, istana melarang semua merpati untuk terbang membawakan surat ke Ibu Kota."

"Dasar tua bangka menyebalkan!" Kamal tidak terima dengan perlakuan penjaga pos itu. Dia menedang meja hingga suaranya mengalahkan gebrakan si Pak tua itu.

"Hey, Nak. Aku tahu kamu adalah anak dari Wali Kota Virama, namun jaga sikapmu." ujar pria kerdil itu dengan tajam. "Aku mengormati Ibu Gunung, jadi jangan macam-macam di sini."

Aku yang takut akan terjadi kegaduhanpun memilih untuk mundur dan menenangkan keadaan. "Sudah-sudah, cukup. Lebih baik kita pergi sekarang. Maafkan kami, Pak."

Setelah mengatakan itu, aku langsung melangkahkan kaki keluar dari bagunan kantor pos di kaki gunung itu, dengan surat digenggaman yang gagal aku kirim. Bukan masalah surat, aku mencemaskan sesuatu. Laksana dan Lim, dua prajurit sekaligus penunggang naga yang merupakan sahabatku. Apa ini alasan mereka tidak mengunjungiku beberapa bulan terakhir ini? Apa sedang terjadi sesuatu di istana hingga membuat mereka tidak menjengkukku lagi?

"Jangan sedih, aku yakin besok hari surat itu akan bisa dikirim." Nadia merangkulku sambil membisikkan kata-kata menenangkan.

Aku menggeleng. "Aku tidak sedih Nadia, aku tidak mengkhawatirkan surat ini. Namun ada satu hal yang mengganjal di kepalaku."

"Apa? Ceritakan padaku."

"Penjaga pos bilang, sedang terjadi sesuatu di istana. Dia bilang, politik dan kudeta. Berbarengan dengan itu, Laksana dan Lim sudah lama tidak mengunjungiku," ujarku cemas. "Aku mengkhawatirkan mereka. Aku takut terjadi sesuatu pada mereka. Bagaimana jika mereka kenapa-kenapa?"

Dari wajahnya, Nadia terlihat sama khawatirnya denganku, namun dia terlihat sebiasa mungkin membuat aku tetap tenang. "Aku yakin mereka baik-baik saja, dan kamu juga harus berpikir begitu. Mereka prajurit yang perkasa, naga-naga merekapun termasuk naga yang terkuat di Ibu Kota, bukan?"

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang