6. Langit Jatuh

140 26 0
                                    

"OMOSTÈSIES KROMASIANXIX THO POTECKOS!!"

Tepat saat Nadia berteriak lantang merapalkan sebuah mantra, semua mahluk itu tumbang. Setelah berkali-kali merapalkan mantra, akhirnya dalam waktu yang tepat mantra itu dapat bekerja. Kami bertiga bisa melihat dengan jelas, satu-persatu mahluk batu itu tumbang. Seperti sebuah domino, dari depan sampai belakang semua mahluk itu jatuh dan tidak sadarkan diri.

Aku dan Kamal tersekejut. Kami membeku menyaksikan mahluk-mahluk itu yang jatuh saling tumpuk. Apa kita selamat? Pertanyaan yang ada di pikiran kami. Lima detik lalu, kami dengan jelas melihat ajal siap menemui kami, namun tanpa bisa diduga orang lain mengubah takdir kami. Semua terjadi begitu cepat, kurang dari sepuluh detik.

"Nadia!"

Aku terkejut saat tubuh Nadia oleng. Kamal sontak menahannya. Kami berdua panik saat melihat wajah gadis itu yang pucat, hidungnya banyak mengeluarkan darah.

"Apa kita selamat?" tanyanya.

Aku menitihkan air mata, kemudian mengangguk. "Ya, kita selemat, Nadia. Dan itu karena kamu. Kamu berhasil membuat mereka semua tumbang. Kamu berhasil mengalahkan puluhan dari mereka."

"Kali ini," tambah Kamal.

Nadia tersenyum, dia berusaha bertumpu sendiri. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Kita harus segera pergi dari sini. Aku berhasil memperlambat detak jantung mereka, mereka hanya pingsan. Dalam beberapa jam, mereka pasti akan bangun dan kembali mengejar kita."

Aku mengangguk setuju. "Kalau begitu kita harus segera pergi."

Setelah mendengar perkataan Nadia, kami pun segera berjalan meninggalkan tempat itu. Kami melangkahi tubuh demi tubuh mahluk-mahluk tersebut. Aku berusaha tidak memandang wajah mereka, namun ada kalanya aku tidak sengaja menatap wajah yang mengerikan itu. Aku kembali ketakutan. Tumpukan tubuh itu menyebar sampai beberapa meter, membuat kami sedikit kesulitan dalam berjalan.

Aku kembali mengingat detik-detik terakhir tadi. Aku pikir kami benar-benar akan mati, namun ternyata tidak. Lebih tepatnya, belum. Aku dan Kamal terlalu meremehkan sosok Nadia, kami salah tentangnya dan kami lupa kalau Nadia masih penyihir seutuhnya. Sebodoh-bodohnya gadis itu tentang permantraan, pasti ada mantra yang ia kuasai. Dan beruntungnya, mantra itu dapat menyelamatkan kami.

Kami sudah berjalan selama dua jam lebih dari tempat mahluk-mahluk itu. Aku sudah lelah, namun masih ragu untuk berhenti. Nadia masih pucat, namun dia terus berusaha untuk berjalan. Sementara Kamal, entahlah, aku tidak bisa menebak mimik wajahnya. Laki-laki itu masih terus berjalan sambil menggenggam pedangnya.

Kami masih berada di hutan belantara, berjalan tanpa ketiga serigala kami. Tentunya berjalan kaki benar-benar melelahkan, ditambah hujan masih terus turun membuat tubuh kami basah kuyup. Kami tak sempat mengenakan mantel hujan, alhasil kami hanya memanfaatkan pohon rindang untuk berteduh. Semakin deras hujan, kami semakin kelelahan.

"Sebenarnya yang tadi itu mahluk apa, Kamal?" tanya Nadia.

Kamal menoleh ke arah Nadia. "Entahlah, di setiap tempat mereka memiliki nama yang berbeda. Ada yang menyebut mereka mahluk batu, beberapa menyebut mereka mahluk rawa, ada juga yang menyebut mereka batu penghisap darah. Mereka memiliki bisa yang mematikan. Jika kalian terkena gigitan sekali saja, kalian bisa saja menjadi seperti mereka."

Kamal kemudian lanjut berkata, "Mereka hidup berkelompok. Jika kalian menemukan satu dari mereka, maka sudah dipastikan teman-temannya tidak jauh dari sana. Mereka hanya muncul saat musim hujan biasanya. Setelah musim kemarau datang, mereka akan berhibernasi. Tidur seperti orang mati."

Mendengar itu Nadia terlihat ngeri. "Jika kita bertemu mahluk seperti itu lagi, akankah kita selamat?"

"Mereka hanya takut dengan api. Elok bisa menyuruh Senja membakar mahkuk-mahluk itu," jawab Kamal.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang