9. Lim Bubu

114 22 0
                                    

Aku dan Kamal kembali mengikuti langkah Ramzi. Kami berdua melewati para penyihir yang sibuk berjaga di setiap sisi bangunan. Wajah mereka datar tanpa seulas senyuman, mata mereka tajam dan menatapku penuh waspada. Mereka menunduk memberi hormat saat berpapasan dengan Ramzi, dan pria itu membalasnya dengan senyuman.

"Jika di kota-kota lain hanya memiliki satu prajurit, maka di Langit Jatuh berbeda. Kami memiliki bala tentara yang terbagi menjadi dua. Kami membagi mereka menjadi Tentara Pertama dan Tentara Kedua," ujar Ramzi menerangkan. "Tentara Pertama diisi oleh para prajurit bersenjata dan berkuda, sementara Tentara Kedua diisi oleh orang-orang dari golonganku. Penyihir."

Ramzi kembali menjelaskan, "Tentara Kedua mengenakan jubah hitam seragam, namun bordiran di jubah mereka memiliki warna yang berbeda. Merah berarti Penyihir Darah, oranye berarti api, biru berarti air, putih angin, dan hitam berarti bayangan."

Aku bertanya, "Kenapa bisa begitu? Aku tidak pernah turun gunung sepanjang aku hidup, setahuku para penyihir masih sulit mendapatkan tempat di dunia ini."

"Langit Jatuh beda. Langit Jatuh memiliki keistimewaan untuk melindungi para penyihir, jika kami mau."

Aku menyanbung, "Tapi banyak penyihir-penyihir yang diperbudak di tempat ini, mereka dijual dengan harga murah di pasar, dan—"

Ramzi memotong, "Semua ini karena sejarah kelam ratusan tahun lalu, Elok. Kamu pikir kami di sini baik-baik saja melihat kaum kami diperlakukan dengan tidak baik di luar sana? Kami ingin melakukan apa yang ada di pikiranmu, namun kami terikat sebuah sumpah."

"Sumpah apa?" tanya Kamal.

"Lupakan, nanti kalian juga tahu. Sekarang saatnya masuk ke menu utama."

Ramzi berbelok, kami berdua mengikutinya hingga tibalah kami di depan sebuah pintu. Pintu ganda berpola dari kayu mahal. Ramzi langsung mendorong pintu itu, yang ternyata tidak terkunci. Hawa dingin langsung menabrak kami bertiga saat pintu ganda itu terbuka lebar dan memperlihatkan apa yang ada di dalam. Ramzi langsung menyuruh aku dan Kamal untuk mengikutinya.

Ruangan itu besar, namun kosong. Hanya ada sebuah ranjang dengan dua nakas di kedua sisinya, dan—"Siapa itu?"

Aku terkejut ketika melihat seorang pria terbaring tidak sadarkan diri di brankar. Pria itu tidak mengenakan busana kecuali celana dalam. Aku bergidik ngeri ketika melihat sekujur tubuhnya. Aku melihat banyak luka mengeritkan di tubuhnya yang terbaring lemah. Dari mulai wajah sampai ujung kakinya aku bisa melihat luka-lukanya yang mengerikan.

"Dia Lim, pria ini kan yang kalian cari? Penunggang naga putih di depan sekaligus pengawal Raja. Dia yang menjadi alasan kalian turun gunung, kan?"

Aku tertegun saat mendengar perkataan Ramzi. Jantungku mendadak berdetak kencang, kemudian aku perhatikan wajah pria itu dengan saksama. Mataku berkaca-kaca, sebelum akhirnya meneteskan air mata. Aku tidak bisa berkata-kata saat menyadari pria yang tubuhnya dihiasi oleh luka itu adalah Lim Bubu, orang yang kami cari. Dia sahabatku sekaligus orang tuaku.

"Lim!"

Aku langsung berlari ke arah brankarnya. Aku menutup mulutku saat melihat salah satu sahabatku sekarang terbaring dengan keadaan mengenaskan, tidak sadarkan diri dengan luka di sekujur tubuh yang bahkan belum mengering.

Dengan suara serak aku pun bertanya, "Apa yang terjadi padanya?"

Ramzi baru saja akan menjawab, namun suara tarikan pedang milik Kamal sudah menggema duluan. Laki-laki itu dengan wajah memerah langsung mendorong tubuh Ramzi ke tembok, kemudian menempelkan bilah pedangnya pada pria tua itu. Jika wajahku banjir air mata, maka wajah Kamal banjir amarah yang meledak-ledak.

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang