30. Bersiap-siap

85 14 23
                                    

Setelah menempuh perjalan hampir seharian penuh, akhirnya kami tiba sebelum malam di mana langit biru keunguan di atas Gunung Virama terlihat. Dari atas naga, aku melihat keindahan langit saat malam akan datang sampai aku lupa kalau ada kegelapan yang telah menunggu setelah keindahan ini. Aku melihat ke bawah, ke wilayah Gunung Virama, di mana hamparan hijau terlihat jelas di mataku.

"Rumahku," ujarku tanpa sadar, menitihkan air mata.

Entah berapa bulan aku meninggalkan tempat terindah dan ternyaman ini, yang jelas aku benar-benar merindukan semua yang ada di sini. Aku mengambil napas, menghirup oksigen tempat itu sebanyak-banyaknya. Rasanya tenang dan senang bisa kembali ke kampung halaman. Ditambah saat aku melihat ke arah pemukiman rakyat Virama, banyak di antara mereka berteriak kegirangan sambil menunjuk-nunjuk kami di atas.

"Mereka menyambutmu, Elok," ujar Meutia di depan, tangannya memegang tali pelana pada naganya.

Aku baru saja akan menjawab, namun Putri Arinda sudah lebih dulu meninpali, "Bukankah mereka semua menyambut kami para anak Raja?"

Aku cukup terkejut dengan kekehannya yang terdengar mengejek. Namun aku tetap tersenyum. "Tentu saja mereka semua menyambut kalian, Yang Mulia."

"Pegangan, kita akan mendarat."

Mendengar ucapan Meutia, kami yang berada di belakangnya langsung berpegangan. Saat aku melihat ke bawah, rupanya kami telah tiba di area istana Gunung Virama. Dari atas naga aku bisa melihat banyak orang yang berkumpul di halaman depan pintu masuk istana, mereka menyambut kami. Ibu Gunung dan Afan ada di antara mereka yang berdiri menyambut.

Setelah Embun Pagi mendarat, aku dan ketiga anak Raja turun satu-persatu. Tepat saat ketiga anak Raja turun dari pelana naga, semua orang yang berada di sana bersimpuh ke tanah menyambut Pangeran dan Putri dengan penuh hormat. Namun Ibu Gunung tidak melakukannya, dia hanya tersenyum ke arah kami.

"Selamat datang kembali di rumahmu, Elok," ujar Ibu Gunung, kemudian beralih ke arah tiga anak Raja. "Selamat datang di kota yang penuh suka cita ini, Yang Mulia. Senang bertemu dengan kalian."

Masih dengan keadaan semua orang yang bersimpuh, aku melihat raut wajah kesal yang ditunjukkan Pangeran Kawiswara dan Putri Arinda. Sang Pangeran menghampiri Ibu Gunung dengan wajah tersinggung.

"Kamu sudah hidup lama tapi kamu belum tahu caranya memberi hormat yang baik," ujarnya Kawiswara ketus, tampaknya tidak suka saat melihat Ibu Gunung tidak bersimpuh memberi hormat seperti yang lain.

Sebelum menanggapi ucapan Sang Pangeran, Ibu Gunung menyuruh orang-orangnya untuk bangkit. Wanita itu menatap Kawiswara sambil tersenyum. "Sang Raja sekaligus sahabatku telah tiada, beliau telah wafat. Viraksa tidak punya Raja untuk sekarang. Jadi, haruskah aku yang tua ini bersimpuh di hadapanmu, anak muda?"

Ekspresi wajah Kawiswara semakin kesal. "Aku anak sulung, aku yang akan mewarisi takhtanya, dan aku yang akan menjadi Rajanya. Kamu harusnya tahu itu."

Ibu Gunung menatapku sejenak, lalu menatap Kawiswara dengan masih tersenyum. "Semoga."

"Pasti kalian semua lelah, aku dan rakyat Gunung Virama sudah menyiapkan sambutan untuk kalian," ujar Ibu Gunung, masih bersikap ramah. Di mempersilakan para anak kami untuk masuk.

Para anak Raja beserta Meutia mulai masuk ke dalam istana Virama dituntun oleh mamanya Kamal itu, sementara aku mengikuti di belakang. Perasaanku masih gelisah dan tidak menentu, membuatku memilih diam di beranda istana sambil menatap langit yang perlahan gelap. Pertanyaanku hanya satu, apa teman-temanku berhasil keluar dari bayangan hitam buatan Sang Malam?

Sebelum Malam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang