KINGDOM COME : The Blessed War. (Season 2 Prologue)

893 142 39
                                    

Suara-suara itu riuh, lalu redam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara-suara itu riuh, lalu redam. Hampir mirip maniak, tawanya sayup-sayup terdengar di antara percik kecil api yang membakar lilin di ujung ruangan. Seorang pria tua yang tampak telah menghabiskan tiga perempat masa hidupnya itu duduk di antara buku-buku tua. Hari itu ia bangun dengan perasaan sadar, kemudian menghirup napas dalam-dalam. Sulur yang tumbuh terlewat subur itu ia pangkas, debu yang menyelimuti sampul buku itu usap. Hari ini, ia bangun dalam keadaan sadar.

Lilin di ruangan, satu-satunya pencahayaan yang menemani hari-hari tuanya itu setia bercahaya. Ia tahu siapa yang menunggunya. Ia tahu apa yang ia tunggu. Dalam remang ia berdiam diri, menantikan presensi yang ia kenal terlewat lama itu datang kembali. Lanskap kota yang masih ramai akan pembicaraan lalu-lalang itu tak selaras dengan pikirannya yang kini begitu sunyi.

Ketika tirai itu disibak, ia tahu.

"Young blessed."

Sosok dengan jubah, tidak lebih tinggi dari tumpukan buku di pojok ruangan itu tidak menjawab. Malah, seolah telah paham, sosok tersebut mengambil duduk di depannya. Hari-hari yang membosankan itu sirna sudah, semenjak sang anomali di hadapannya ini memutuskan untuk menginjakkan kaki di toko tuanya. Di antara kayu reyot, figura yang kosong, dan tanah yang telah bersimbah pengorbanan mereka yang tak bersalah.

Seketika, hiruk-pikuk kota seakan membisu. Presensi yang terasa hanyalah milik mereka berdua. "Kau sungguh—sungguh-sungguh anak yang malang ...

Anak yang terkutuk ... kelahiranmu sedari awal adalah malapetaka itu sendiri, apa kau tahu?"

Siluet yang masih menutup setengah wajahnya dengan tudung gelita itu masih diam, walau gestur tubuhnya tak bisa berbohong, raganya kini condong seakan mengantisipasi kata berikutnya yang keluar dari mulut yang dikelilingi keriput tersebut.

"Aku sudah memperingatkanmu. Untuk bereksistensi di antara para api sendiri adalah sebuah pilihan, tapi apa kau tidak pernah sekali saja berusaha untuk lari? Kabur dari takdirmu, ketika kau tahu tidak semuanya adalah hal yang konkrit?

Menghadapi segalanya bukanlah pilihan satu-satunya, kau tahu itu. Bijaklah sesuai dengan darahmu, sebagai cahaya Yang Agung Athena di muka bumi ... bagaimana bisa kau menodai tanganmu lebih lanjut ketika tahu tiap jengkal jarimu itu dikutuk?"

Kini, telapaknya telah menopang dagu dengan jemari yang menutupi mulut. Pandangannya penuh kalkulasi, napasnya tenang seraya kedua obsidiannya menghitung detik.

"... Apakah Anda bilang, saya bisa kabur dari takdir saya sendiri?"

"Tentu, jika kau cukup pintar untuk itu."

Jemari tersebut mengetuk ujung meja, berirama.

"Jika tidak ...

Takdir macam apa yang menunggu saya di depan sana?"

BlessedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang