+71. angers, angers.

573 94 34
                                    

"Ini bukan sanitarium

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini bukan sanitarium."

Hyunjin menoleh, kemudian memasang ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Tentu saja bukan," ucapnya. "Those idiots by now would have come to realisation about their stupidity, and then proceed to follow us along."

Si gadis lalu menunduk lagi, seolah tengah dimarahi. Si putra Hades menghela napasnya, mungkin memang bukan keputusan terbaik untuk membawa seseorang yang tengah terguncang ke kamar salah satu anak dewa utama, yang didekorasi suram dan berpendar gelita. Dinding kamar Hyunjin terkesan dingin, dengan ukiran yang hampir tak terlihat oleh karena minimnya cahaya yang masuk ke dalam sana. Sepetak sinar mengintip dari jendela, tetapi hanya sebatas itu saja. Ruangan ini didesain senyaman si putra Hades, yang hampir selalu menghabiskan waktu luangnya di dalam kamar asrama.

"Maafkan aku, kamu nggak suka di sini?" tanyanya lembut, mendudukkan Hyunae di sofa dekat jendela, dengan buku dan perkamen yang berserakan di bawah ujung kakinya, tanda tengah ia baca dan tinggalkan begitu saja.

Hyunae menggeleng pelan, tapi tetap tak menatap mata Hyunjin. Si adam hilang sebentar dari hadapannya untuk mengambil kotak P3K. Sekon kemudian, ia bersimpuh, duduk di hadapan si hawa yang tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri sampai-sampai tak menyadari ia tengah menatap puncak kepala si adam.

Tak ada yang pernah melihat seorang Hwang Hyunjin menunduk, apalagi berlutut di hadapan seseorang.

"Hyunae ... Hyunae, lihat aku."

Dan tak ada yang tahu betapa telatennya sang anak Hades dalam membalut perban. Tidak, mungkin lebih tepatnya tak ada yang bisa membayangkan si jenius itu akan terluka, atau membalut luka seseorang. Rambutnya diikat ke belakang, tetapi sebagian dibiarkan tergerai menutupi leher. Tangan dengan jemari yang panjang tersebut fokus merapal sihir sekaligus menutup luka yang terbuka.

Hwang Hyunjin tengah jadi sosok yang perhatian padanya.

Namun, badai di dalam diri Hyunae tak kunjung reda.

"Hyunae, kenapa kamu marah ke aku juga?"

Si putri Athena menggeleng. "Gimana bisa aku marah ke kamu, Hyunjin?" Nadanya pelan, ia takut getirnya terdengar. Harusnya aku enggak begitu. Batinnya terus mengutuk, tak terputus kecewanya pada keputusan yang ia ambil sendiri. Harusnya aku nggak ngebentak Jaemin, dia cuman mau yang terbaik. Harusnya aku lebih dewasa di sini, harusnya aku bisa ambil langkah bijak dan nggak nyakitin orang lain. Harusnya aku bisa bertutur baik-baik dan misahin mereka tanpa perlu berdrama, pada akhirnya, aku juga yang bikin keributan ini jadi membesar. Harusnya ...

"... Harusnya aku lebih dewasa."

"Mau sedewasa apalagi?" Hyunjin menghela napas, membersihkan peralatan pertolongan pertamanya, kemudian melepaskan sepatu si hawa dari tungkainya.

Hyunjin tak pernah menundukkan kepalanya, kecuali di momen seperti ini. Kedua kaki Hyunae ia angkat, ia biarkan naik ke atas sofa. Ia kemudian ikut duduk di sebelah si gadis, tetapi berlawanan arah. Hyunjin tengah menatap ke luar jendela. "Jangan terlalu keras ke dirimu sendiri ... mereka juga keterlaluan karena nggak baca situasi. Harusnya kalau mau berkelahi, di Colosseum aja sekalian."

BlessedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang