Maura terbangun karena mimpi buruk lagi, ia melirik Azura yang tertidur di sampingnya. Kerongkongannya terasa kering, Maura melirik jam menunjukkan pukul dua malam. Ia keluar kamar sendirian karena tidak ingin membangunkan Azura.
Maura berjalan menuju dapur lalu mengambil gelas, tetapi gerakannya terhenti saat kenop pintu belakang terdengar, seseorang berusaha membukanya. Maura meletakkan gelas kembali dan mundur perlahan dari pintu belakang.
Maura ingin berteriak saat pintu terbuka tetapi tertahan saat melihat wajah Austin dari balik pintu. Wajah lelaki itu dipenuhi luka. Maura ingin membuka suara tetapi Austin langsung berjalan mendekati Maura.
Lelaki itu menutupi bibir Maura dengan tangannya agar gadis itu tidak mengeluarkan suara yang dapat membangunkan orang di dalam rumah.
"Sstt jangan berisik." Austin berbisik tepat di telinga Maura. Tatapan lelaki itu terlihat berbeda dari biasanya, tatapan yang biasa hangat, menatapnya dengan tajam.
Maura mengangguk, tangan Austin masih berada di bibirnya, bahkan Maura bisa melihat Austin dengan jelas walaupun pencahayaan yang remang.
Austin melepaskan tangannya tetapi dia masih tidak membiarkan Maura pergi karena ia tahu dengan jelas bahwa Maura sudah mengetahui dirinya.
Austin menatap Maura tajam, "lo udah ngasih tau siapa aja?"
Maura meneguk ludahnya kasar, Austin terlihat jauh dari kata ramah sekarang. Ia merasa terintimidasi.
"Gak ada yang tau," ucap Maura pelan. Ia bingung bagaimana Austin bisa tahu kalau Maura tahu kebenarannya.
Austin memundurkan wajahnya, ekpresi kerasnya perlahan menghilang. Ia tidak sadar telah menakuti teman adiknya. Austin mengusap kepala Maura.
"Pastiin ini cuma rahasia di antara kita."
Maura mengangguk cepat lalu buru-buru kembali ke kamar Azura, bahkan ia sempat lupa dengan tujuan awalnya ke dapur.
Saat paginya, Maura duduk di meja makan bersama Azura dan kedua orang tua gadis itu.
"Abang mana?" tanya Azura pada kedua orang tuanya. Mereka baru saja selesai sarapan.
Maura melirik Azura sejenak, ia masih teringat kejadian tadi malam.
"Masih tidur, katanya dia pulang telat karena ngerjain tugas sampe malam."
Azura menganggukkan kepalanya, setelah itu mereka pamit untuk pergi ke sekolah. Austin sepertinya memiliki citra yang sangat bagus di keluarga ini, bagaimana jadinya jika mereka tahu kalau lelaki itu sangat berbeda saat berada di luar rumah?
⚠️⚠️⚠️
Vanya dan Celine sudah berada di lantai dua sekarang, mereka sedang memegang ember berisi air kotor. Mereka melirik Maura yang berjalan di bawah bersama Azura, menunggu momen yang pas untuk menumpahkan ember tersebut.
"Tiga detik lagi," ucap Vanya.
Celine sudah bersiap-siap dan menghitung dalam hati, tetapi seseorang menahan pergelangan tangannya. Celine berdecak dan melihat seseorang yang menahan tangannya, Aileen.
"Kenapa?" tanya Celine sinis. Ia dan Vanya melirik Aileen tidak suka karena mengganggu rencananya.
Aileen melipat lengannya di depan dada dan tersenyum pada kedua gadis itu. "Kalian gak perlu ngotorin tangan."
Celine menaikkan alisnya, "maksud lo?"
Aileen terkekeh, lalu memegang pundak Celine. "Mau gabung?"
⚠️⚠️⚠️
Maura berjalan menuju gerbang saat pulang sekolah. Ia tidak bertemu dengan Noah dan Zidan di sekolah hari ini karena mereka berdua sedang mengikuti perlombaan basket. Padahal Maura ingin sekali memberikan protes pada Noah perihal kejadian di restoran kemarin.
Maura menghentikan langkahnya saat melihat Arion menghalangi jalannya.
Maura menatap Arion, "ada yang mau diomongin?"
"Kalo ada yang ganggu lo lagi, kasih tau gue."
Maura menghembuskan napasnya pelan, ia mengangguk tidak mau memperpajang lagi. Ia ingin pergi tetapi Arion menahan tangannya.
"Apa la–"
Maura menghentikan ucapannya dan memegangi hidungnya yang terasa mengeluarkan darah lagi. Oh tidak! Sekarang bukan waktu yang tepat, apalagi dia sedang bersama dengan Arion sekarang.
Maura melirik sekitar, berharap bertemu Kairi, tetapi lelaki itu tidak terlihat sama sekali. Maura segera mengambil sapu tangan dari dalam tasnya, yang sudah dia persiapkan untuk kejadian seperti ini.
Arion memegangi kedua bahu Maura dan melihat darah yang keluar dari hidung gadis itu. Maura segera menutupi hidungnya dengan sapu tangan.
"Gue gak papa." Maura melepaskan tangan Arion dari bahunya, hanya satu harapannya, semoga dia tidak pingsan sekarang.
Tetapi sepertinya hal ini tidak akan terjadi, karena sekarang kepalanya seperti berputar-putar.
Maura berjalan menjauhi Arion yang menatapnya dengan khawatir. "Maura? Lo mimisan."
Arion ingin mendekati Maura tetapi terhalang oleh Noah yang sudah berlari ke arah Maura dengan baju basketnya. Lelaki itu baru saja menyelesaikan pertandingan basket hari ini dan langsung menemui Maura.
Noah berdiri di depan Maura dan memeriksa kondisi gadis itu. Maura berusaha bertahan, tetapi kepalanya sangat pusing, penglihatannya juga perlahan kabur.
Maura melirik Noah dengan cemas, "jangan bawa ke rumah sakit atau ke rumah gue."
Setelah mengucapkan itu, Maura pingsan. Noah segera mengangkat tubuh Maura dan menatap tajam Arion yang berjalan mendekat, menatap Maura khawatir.
Noah membawa Maura menuju mobilnya tanpa berbicara apapun pada Arion.
To be continued
Double up guysss!!
Jangan lupa vote dan comment 🫶
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Relationship [END] [TERBIT]
Teen Fiction[PART MASIH LENGKAP!] [Sudah terbit di Teori Kata Publishing] Maura harus menerima nasib kalau dia bertransmigrasi ke dalam novel yang baru saja di bacanya. Bukan pemeran utama maupun pemeran antagonis, tapi seorang gadis yang bahkan namanya tidak p...