39. Luruh

611 71 25
                                    

Malam di hari pertama pesta seharusnya telah membuat Holland dan Demian menggoreskan janji tak tertulis, bahwa keduanya telah sepakat akan melindungi Helia dari tangan Allan, apa pun alasannya. Namun rupanya, malam kedua pesta merupakan sebuah kegagalan bagi keduanya.

Mereka lengah karena kala menjejakkan kaki di ruang pesta untuk yang pertama kalinya, para bangsawan langsung menarik keduanya dan tak bisa menolak untuk berbincang perihal bisnis atau politik, disibukkan dengan sedemikian rupa, hingga lupa akan kehadiran Helia.

Saat mereka menemui Helia lagi, pesta hampir berakhir, tetapi rupa Helia kusut, bagaikan telah bertemu dengan malaikat kematiannya. Sorotnya tak tenang, dia kelihatan sedih, dan tubuhnya luyu bagaikan kelopak bunga yang telah mati.

Bahkan saat diajak bicara, Helia menolak, dia tetap bungkam, seolah ada yang telah lebih dulu berantakan di dalam benak dan hatinya sehingga membuka suara malah membebaninya.

"Helia, dari mana saja kamu?" tanya Holland, dia khawatir setengah mati ketika melihat Helia kembali ke ruang pesta dengan wajah yang dipenuhi kekalutan. Melihatnya membuat Holland turut pecah.

Helia tak menjawab, dia hanya menundukkan kepala. Topeng pesta yang menutupi separuh wajahnya terpasang dengan berantakan.

"Helia." Demian mencengkeram bahu Helia secara halus untuk mendapatkan perhatian gadis itu. "Dari mana kamu pergi? Jawab aku, Helia."

Helia pun seakan enggan menjawab, dia menggigit bibirnya.

"Helia!"

"Demian, cukup," potong Holland, dia menarik tubuh Helia langsung ke dalam rengkuhannya, berupaya untuk menenangkan Helia yang perasaannya tengah kacau-balau. "Kita akan kembali sekarang."

Demian menghela napasnya. "Benar."

Helia lantas dibawa keluar dari ruang pesta, dibawa lari menuju kereta kencana di mana dia akan mendapatkan rasa aman dan nyamannya dalam rengkuhan kakak dan ayahnya.

Helia tak pernah mengira, apabila jatuh cinta baginya, merupakan sebuah kesialan tak berujung. Helia mengulang waktunya demi meyakinkan diri bahwa cintanya kali ini berbeda, bahwa cintanya akan mengungkapkan kasih sayangnya sehingga Helia merasa bahwa dirinya istimewa. Namun, semuanya hanya omong kosong.

Baik di masa lalu atau di masa kini, cinta baginya hanyalah sebuah bualan.

Kereta kuda akhirnya berjalan. Tak ada yang peduli lagi dengan pesta kala satu-satunya pembawa keceriaan di sana murung dan enggan bicara.

Demian yang duduk di samping Helia tak berhenti untuk memeluk tubuh adiknya, membisikkan kata-kata penenang supaya Helia tak dibiarkan hancur semakin parah. Holland kini duduk berimpitan di sisi kiri Helia, menggenggam tangan putrinya secara halus supaya tidak ada yang pecah hanya karena sentuhannya terlalu kasar.

Sepanjang perjalanan, Helia masih tak mau bicara. Seolah seluruh kata di balik lidah dan tenggorokan, telah tersegel oleh penyihir gila hingga Helia kehabisan kata.

Selepas ketiga keluarga Floral tiba di kediaman Floral, Helia hendak kembali ke kamarnya tanpa mengatakan apa pun seperti kemarin malam, hanya memberikan sorot sendu dan penuh akan kesedihan di dalamnya.

"Tunggu, Helia." Holland meraih jemari Helia, mengelusnya perlahan supaya menenangkan benak kacau Helia. Tak lupa, pria itu membentuk sebuah senyuman lembut dalam kanvas lukis di wajah yang tak lagi muda.

"Ayah?" Akhirnya, satu kata pertama Helia lolos dari bibirnya, tetapi kedengaran begitu pecah hingga apa pun yang berada di dalam diri Holland turut tumpah-ruah.

Demian menggigit bibirnya, memperhatikan apa pun yang ayahnya hendak lakukan pada kesayangan mereka.

"Apakah kamu dan Demian mau tidur di kamarku?"

END | Ignore Me, Your Majesty! [S2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang