Demian tak tahu lagi mesti bereaksi seperti apa, ketika adiknya yang telah menginjak usia empat belas, telah dimasukkan ke dalam pasukan utama untuk memulai revolusi.
Pada saat rapat rahasia, Floral telah memutuskan untuk membantu jalannya revolusi, beberapa perwakilan dari pihak Ksatria Rahasia juga hadir, bahkan Nate. Demian baru saja tahu bahwa Nate adalah seorang informan berbakat. Tanda tanya di benaknya makin bermunculan karena Helia-lah yang membawa Nate ke sisinya.
Kini, Demian makin tak mengerti kala Holland tak mengungkapkan ketidaksetujuannya pada Helia yang memasuki pasukan utama revolusi. Helia baru berusia empat belas tahun, apa yang dipikirkan ayahnya itu?
Demian juga tak mengerti mengapa si bajingan Allan—gelar yang digunakan Demian selama lima tahun belakangan ini—terus mendekati Helia, bahkan mengelus punggung tangan Helia dengan penuh kelembutan, pun tidak protes ketika Helia akan bertempur di sisinya.
Demian ingin berteriak frustrasi. Mengapa di dalam ruangan ini, tidak ada satu orang pun yang memiliki jalan pemikiran yang sama dengannya?! Bahwa Helia masih terlalu belia untuk berpartisipasi dalam pertarungan berdarah yang akan menentukan masa depan Teratia, bahwa beban peperangan ini terlalu berat bagi Helia. Demian takut jika setelah pertempuran usai, Helia tak lagi utuh, baik fisik atau mental yang. Bahkan Demian sendiri masih ragu jika dia dapat bertahan hidup nanti.
"Kakak!"
Demian tak mengindahkan panggilan Helia ketika rapat telah usai. Semua orang bubar dengan sembunyi-sembunyi, mencegah kehadiran mereka di dalam rapat rahasia untuk bocor.
Lorong kediaman Floral terasa jauh bagi Helia ketika Demian sama sekali tak berhenti untuk menoleh.
Helia jadi bingung sendiri. Selama rapat, Demian bungkam. Pria berusia dua puluh tahun itu hanya memelototi Holland dan Allan secara bergantian. Kini, rapat telah usai, dan pria itu yang pertama kali meninggalkan ruangan.
"Kakak! Apa Kakak mendengarkan aku?" Helia akhirnya bisa menarik tangan Demian, membuat laki-laki itu akhirnya berbalik.
Helia perlu mendongakkan kepalanya supaya bisa menilik langsung sepasang manik darah yang kelihatan kecewa.
Helia merasa dadanya berdegup nyeri. Sorot Demian terlalu menyedihkan bagi Helia pikul.
"Apa itu?" tanya Demian tanpa nada dalam vokalnya.
Helia menggigit bibir, menundukkan kepalanya perlahan. Dia tak mampu menatap sorot tersebut lebih lama lagi. Seolah jika Helia tenggelam di sana lebih dalam lagi, Helia akan dihancurkan oleh sebuah perasaan semu.
"Kakak mau ke mana?"
"Kamarku," balas Demian singkat. Jeda ketika Helia ikut bungkam. Demian menghela napasnya. "Malam sudah larut, Helia. Beristirahatlah. Akan ada malam berat lainnya ketika tanggal revolusi sudah ditentukan."
Demian melepaskan genggaman Helia dan berbalik, tak sekalipun Demian menoleh untuk menatap sosok adik yang dicintainya. Kini, perasaan Demian hanya dimonopoli oleh kekecewaan. Demian seolah ditinggalkan sendiri dalam sebuah kotak bernama ketidaktahuan. Hanya Demian sendiri yang tidak tahu apa yang terjadi, apa yang Helia sembunyikan darinya, apa yang membuat semua orang menerima keputusan tersebut begitu saja tanpa pikir panjang. Hanya Demian saja yang menderita karena dia tidak tahu.
***
Esoknya, Helia berusaha untuk mendekati Demian debgan perlahan. Ajakan untuk minum teh setelah sarapan malah ditolak atas alasan berlatih pedang karena waktu revolusi hanya tinggal memakan hari.
Siang harinya, Demian bahkan tak hadir di meja makan. Sore harinya, Demian pergi ke pandai besi untuk membuat pedang baru. Malam harinya, Demian belum kembali dan Helia telah lebih dulu terlelap kala Demian pulang.
![](https://img.wattpad.com/cover/321604367-288-k686582.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Ignore Me, Your Majesty! [S2]
Ficción históricaHelia Scarlett Floral mati karena meneguk racun, tetapi ketika dia membuka mata, Helia mendapati tubuhnya menyusut! Waktu telah terulang. Bukan hanya itu, ayah Helia yang awalnya sangat membencinya juga malah berbalik menyayangi Helia sekarang. Aka...