42. Tidak Tahu Diri

570 64 3
                                    

Helia memutar tubuh sembari menepis tangan Allan yang sebelumnya menelusupi jemarinya. Diliriknya pria itu dengan tatapan nyalang. Tanpa disadari, kedua tangan Helia mengepal erat, dia merasa jijik dengan sentuhan fisik yang dilakukan oleh pria itu terhadapnya.

"Allan!" desis Helia dengan amarah yang menggebu.

Allan di hadapan Helia hanya menawarkan senyuman miring yang membuat amarah Helia kian meledak.

Baru Helia sadari bahwa rupanya, dia pernah menjatuhkan hati pada sosok yang salah. Mau berapa kali pun Helia mengubah Allan, mengubah kehidupan Allan yang sengsara menjadi lebih baik, Allan tak akan memberikan Helia hal yang sama. Malahan, Allan akan menjadi sosok yang berdiri di garis depan untuk melihat Helia menderita dan menikmatinya.

"Apa yang kamu katakan pada Caste?" tanya Helia, kedua mata menyipit.

Allan hanya menggedikkan bahu, seolah merasa bahwa masalah ini bukanlah perihal yang pelik untuknya. Bahkan Allan bersikap santai sehingga dia nyaris memiliki wajah bak tak pernah menjadi seorang pendosa.

"Entah, Helia. Aku tak mengatakan apa pun."

Napas yang Helia tarik terasa sesak, seolah memang benar bahwa jemari ilusi tengah mencengkeram emosi dan kehidupannya hingga Helia ditenggelamkan dalam rawa kesengasaraan.

"Sekali lagi, apa yang kamu katakan pada Caste?"

Jemari Allan naik secara perlahan, kemudian mendarat di pipi kiri Helia, sambil mengelusnya lembut. Allan mencandu pada kulit halus Helia, pada kehangatan yang gadis itu miliki, pada betapa kacaunya benak Allan hanya untuk berhadapan dengan yang terkasih, sebab diteriakkannya terus-menerus bahwasanya Allan telah jatuh pada gadis ini, sejatuh-jatuhnya hingga Allan tak merasa sanggup bahwa ianya harus berpisah dari sang gadis. Akan tetapi, jatuhnya Allan pada Helia adalah jatuh pada pilihan yang salah. Jatuh hatinya awalnya terasa menyenangkan sebelum kesabaran Allan habis. Kini emosi sayangnya telah tercampur dengan rasa obsesi untuk segera memiliki.

"Bagaimana jika kamu membayar informasi itu dengan satu ciuman?"

Plak! Helia tak ragu. Dia menampar pipi sang raja. Bahwa Helia-lah yang paling tahu apabila menyakiti satu-satunya darah kerajaan hanya akan membawa petaka padanya, tetapi Helia sudah tak larat apabila Allan terus-menerus mempermainkan hatinya.

Allan menyentuh pipinya yang terasa perih, tetapi hanya tersenyum kaku. Dia membuka mulutnya, berupaya untuk membalas, tetapi Helia telah lebih dulu membuka mulut.

"Tidak tahu diri," sambung Helia. Kini, sepasang bola mata yang menaungi netra merah itu berkaca-kaca, siap luruh apabila melihat betapa bergetarnya pupil di sana. "Kamu ... tidak tahu diri."

Allan bungkam, menatap Helia yang mulai meneteskan air mata. Di saat dia menilik tangis Helia, Allan terbujur kaku. Dia enggan membuat sang terkasih menangis akibat dirinya, tetapi Allan yang paling tahu apabila dia bisa menguasai Helia lewat emosinya. Ini adalah kesempatan emas baginya, tetapi mengapa dadanya terasa pedih?

"Aku menyelamatkanmu di saat kamu tidak memiliki rumah." Vokal penuh getar Helia mengisi ruang sendu di antara keduanya. "Aku menyelamatkanmu dari kehidupan penuh kesengsaraan, aku membantumu untuk bermimpi, bahwa meraih takhta yang terdengar mustahil adalah asa yang lancang untuk dipikirkan pada awalnya. Namun lihat, aku mendudukkanmu di atas takhta dengan puluhan rencanaku sebagai sokongan. Aku membantumu mengalahkan keluarga kerajaan lainnya dan menjadikanmu sebagai Raja Teratia."

"Kamu—"

"Bukannya aku bermaksud untuk membuatmu merasa berutang budi padaku," potong Helia sambil menyeka air mata di pipi secara kasar. "Namun, sudah banyak yang kulakukan untukmu, tetapi satu-satunya yang kamu lakukan padaku adalah dengan membuatku menderita? Dasar tidak tahu diri."

END | Ignore Me, Your Majesty! [S2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang