Kala itu, purnama tampak lebih terang dibandingkan dengan biasanya. Seolah tengah mengejek Helia akan kesuraman hidupnya yang bahkan tak dapat disinari oleh setitik cahaya.
Kegelapan di dalam ruangan cukup kentara. Jendela di mana Helia tidak menutup gordennya masih menampilkan panorama yang sama. Hutan, pohon, pegunungan, langit malam, dan rupa Helia yang terkaca dalam jendela. Refleksi Helia di sana agak redup, tetapi masih menampilkan betapa kacaunya sorot gadis itu. Tak terkira, sudah berapa banyak luka batin yang tertoreh di dalam hatinya hingga nyaris hancur dibuatnya.
Ini sudah tujuh hari, delapan jika malam ini berlalu.
Helia telah bertahan, walau memang dia tahu apabila dia akan hancur pada akhirnya. Helia bertahan. Padahal, Helia bisa membunuh dirinya lagi seperti di masa lalu kala suasana telah berubah kacau. Bisa jadi, Tuhan akan berbaik hati pada Helia, memberikan gadis itu satu kesempatan terakhir, di mana Helia akan belajar bahwa mencintai Allan adalah perkara yang sangat sial. Bahkan untuk kembali berjumpa dengan Allan pun, sudah dipastikan bahwa takdir Helia hanya akan dipenuhi duka.
Maka, Helia akan berhenti melibatkan Allan dalam kehidupannya. Helia akan berhenti menyelamatkan Allan, Helia akan berhenti mencari Allan di antara manusia lainnya, Helia akan berhenti menemui Allan, dan Helia akan berhenti untuk menyelipkan detiknya bersama Allan.
Andai Helia diberikan satu kesempatan lagi. Namun, tiada jaminan. Bahkan apabila racun melewati kerongkongan Helia lagi, apakah Tuhan memang akan memberikannya satu kesempatan lainnya? Bukankah apabila Tuhan tak berbaik hati padanya, Helia yang telah meneguk racun, akan mati, dan dilempar ke neraka bahkan tanpa merasakan secuil pun kebahagiaan?
Helia tak mau.
Dia bertahan selama ini, karena dia percaya. Helia percaya, bahwa ayahnya, kakaknya, bahkan Casterius-Helia percaya bahwa Casterius pasti masih hidup-akan menyelamatkan Helia dari tenggelamnya Helia pada dukanya sendiri. Helia memercayai itu.
Walau memang, setelah satu pekan berlalu, dan Helia masih terkurung dalam jeruji tak kasat mata ini, Helia mulai putus asa. Tak ada yang datang untuknya. Tak ada yang mau menyelamatkan Helia dalam tragedi ini. Itulah pemikiran buruk Helia yang terus memenuhi benaknya sebelum dia akhirnya mendengar keributan dari bagian luar paviliun.
Memang kedengaran samar apabila Helia berada di dalam ruangannya, tetapi Helia bisa tahu keributan apa yang tengah terjadi saat itu. Suara teriakan, raungan kesakitan, dan bunyi dua atau lebih senjata yang saling bertabrakan.
Helia yang telah hidup dua kali, tidak mungkin tak tahu suara apa itu.
Helia terlonjak kala dia mendengar suara keras dari pintu yang terbuka secara kasar. Dari ambang pintu, Allan dengan sorot pelik di wajahnya masuk secara terburu-buru dan menghampiri Helia.
"Allan?"
Helia mengerutkan dahinya kala Allan meraih tangan Helia, dan menarik gadis itu.
"Helia, ayo lari."
Helia tambah bingung kala Allan langsung menyeret Helia keluar dari ruang kamar ini dengan langkah lebar. Helia agak kesulitan untuk mengimbangi langkah Allan karena pria itu berjalan dengan terburu-buru.
"Tunggu, Allan, kamu-"
Belum sempat Helia menyelesaikan kalimatnya, Allan telah lebih dulu menghentikan langkahnya. Helia ikut berhenti dan mengintip dari punggung lebar Allan.
Kedua mata Helia membulat kala melihat siapa yang menghalangi langkah keduanya.
"Caste?"
Casterius, tengah menatap Helia dengan pandangan penuh cinta. Rasa rindu yang membuncah, akhirnya terpuaskan juga. Sepasang manik violet Casterius berkaca-kaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Ignore Me, Your Majesty! [S2]
Fiksi SejarahHelia Scarlett Floral mati karena meneguk racun, tetapi ketika dia membuka mata, Helia mendapati tubuhnya menyusut! Waktu telah terulang. Bukan hanya itu, ayah Helia yang awalnya sangat membencinya juga malah berbalik menyayangi Helia sekarang. Aka...