"Brengsek!" maki Casterius seraya melayangkan pukulan pada pipi Allan.
Pipi Allan terasa perih karena pukulan kasar, kepalanya menjadi pusing, dan tubuhnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Dikerutkannya dahi seraya memelototi figur Casterius—si pemilik rambut emas yang kilauannya telah kembali, tak menyisakan jejak kesuraman sama sekali di saat Casterius dipenjarai di dalam kediaman Keehls.
"Casterius," panggil Allan dengan dingin. Sebelah telapak tangan meraba pipinya yang perih dan berdenyut, sementara sebelah tangannya naik dan menarik kerah pakaian Casterius. "Apa yang kau lakukan, bajingan kecil? Berani sekali kau memukulku. Apa kau ingin mati?"
"Harusnya itulah yang aku katakan padamu, Allan! Apa yang kau lakukan dengan Helia di dalam ruangan gelap dan sempit, berduaan saja? Helia berusia sembilan tahun, dasar tidak waras!" bentak Casterius, melupakan segala etiket untuk memanggil seorang pangeran dengan gelarnya. Kini, Casterius merasa kalap. Persetan dengan etiket, perasaan berdebar di dadanya terlalu mendominasi hingga menarik napas pun membuat paru-paru terasa aakit.
"Hah?" Kerutan di dahi Allan kian kentara ketika Casterius membentaknya dengan kata-kata yang laki-laki itu tidak dapat pahami.
Jelas bagi Allan bahwa perasaan asing yang menelusupi dadanya merupakan sebuah kenyataan. Akan tetapi, Allan dan Helia hanya memiliki percakapan rahasia di dalam ruangan tersebut, hanya untuk mencegah Demian yang posesif dan Casterius yang harus menjauhi politik kerajaan, agar keduanya tidak mendengarkan percakapan dan mengintervensi seenaknya.
"Kau salah paham, Casterius," decih Allan, jemarinya melepas kerah pakaian Casterius secara perlahan. Allan mengambil jarak, tatapannya yang murka sedikit memudar.
"Salah paham? Apa maksudmu salah paham? Bukankah sudah jelas, kau mengambil kesempatan dalam permainan ini untuk menyeret Helia yang berusia sembilan tahun untuk—"
"Cukup, Casterius." Allan menghela napas, enggan mendengarkan kesalahpahaman yang malah membuat Allah merasa kesal. "Aku tidak akan merusak Helia. Perasaan di dadaku bahkan tidak memiliki pemikiran tersebut. Sebaliknya, aku ingin melindungi Helia. Jika Helia aman, itu sudah lebih dari cukup bagiku. Apa penjelasanku sudah jelas?"
Casterius tampak tertegun untuk beberapa saat sebelim menggigit bibirnya keras. "P-Perasaan? Sejak kapan?"
Apabila ditanya semenjak kapan Allan memiliki perasaan tersebut di dadanya, laki-laki itu kesulitan menjawab. Perasaan itu tiba-tiba bersemayam di dadanya, tanpa peringatan, tanpa pemberitahuan, sehingga Allan bahkan tak ingat kapan perasaan waspada pada Helia mulai berubah menjadi perasaan yang lain.
"Sudah lama." Namun, Allan memutuskan untuk menjawabnya dengan sebuah frasa separuh kebohongan. Tidak dapat benar-benar dinyatakan menjadi sebuah kebohongan karena Allan hanya tidak mengingat semenjak kapan perasaan itu hinggap.
Manik safir Allan menilik betapa bermasalahnya sorot yang ditampilkan Casterius. Allan bisa tahu bahwa perasaan si laki-laki berambut emas tersebut tengah campur aduk; ragu, takut, cemas, kecewa. Sehingga ekspresi wajahnya menjadi tak keruan.
"Begitu," kata Casterius tanpa nada vokal. "Aku akan kembali ke kediamanku."
Allan tak menjawab. Visinya hanya mengekori punggung Casterius yang diam-diam menjauhinya, dengan tubuh yang layu, seakan energi kehidupannya telah terenggut secara paksa.
Menyebalkan, batin Allan.
Menyebalkan apabila di masa depan, keduanya perlu bersaing untuk mendapatkan hati Helia.
***
Helia tak bisa berkutik di hadapan kedua pasang manik identik yang menghujamnya secara tajam. Hingga apa yang Helia lakukan saat ini adalah menundukkan kepalanya dalam dan merapatkan punggungnya ke sandaran sofa berbahan beludru.
KAMU SEDANG MEMBACA
END | Ignore Me, Your Majesty! [S2]
Ficción históricaHelia Scarlett Floral mati karena meneguk racun, tetapi ketika dia membuka mata, Helia mendapati tubuhnya menyusut! Waktu telah terulang. Bukan hanya itu, ayah Helia yang awalnya sangat membencinya juga malah berbalik menyayangi Helia sekarang. Aka...