Dengan nafas terengah-engah Ratih mengikuti kakek bungkuk itu menuju ke sebuah bangunan kuno . Pria tua dengan rambut memutih itu menarik tangan Ratih dengan keras ketika melewati sebuah pohon besar, gurat wajah panik terlihat tatkala ia berusaha memacu langkah agar secepatnya mereka meninggalkan tempat tersebut.Suasana hening dan sunyi mengiringi perjalanan mereka. Mereka lebih banyak diam tanpa kata, sibuk dengan pikiran masing-masing, hanya degub jantung dan nafas tersengal yang terdengar dalam pekatnya jalanan yang di laluinya. hari sudah menjelang Malam ketika ratih sampai di tempat itu.
Kreeeek!
Suara pintu berderit. Pria sepuh tersebut masih beberapa kali menengok ke belakang. Seolah-olah ingin memastikan sesuatu.
Ratih hanya mematung memandang sebuah rumah joglo berbahan kayu, Kesan antik begitu terasa, di teras rumah beberapa tanaman tumbuh di sisi kiri pintu. Meski rumah itu sangat sederhana secara tampilannya, tetapi kesan nyaman langsung bisa Ratih rasakan saat berada dekat pintu masuk.
"Masuklah, Nak , maafkan rumah eyang yang jelek ini." ucapnya seraya mengatur nafas yang terdengar berat, ia berusaha tersenyum untuk menghilangkan kesan tegang yang baru saja di lalui.
"Ahh... saya yang berterimakasih, Kek, sudah dibantu agar malam ini bisa punya tempat untuk beristirahat." ucap Ratih basa-basi.
"Ayo duduk dulu, Nak." ujar kakek itu seraya memberi segelas air minum dalam kendi dan duduk di kursi kayu lawas yang berhadapan dengan Ratih.
Ratih menyeruput air putih yang ia tuangkan dari kendi hingga terasa begitu menyegarkan kerongkongannya yang terasa kering akibat belari dan berjalan terburu-buru. Sesaat kemudian hanya hening yang terasa, ia bahkan sempat kikuk dan merasa sungkan untuk segera bertanya kepadanya .
Perlahan pandangannya menyapu seluruh ruangan yang tak berisi banyak perabot di dalamnya, hanya kursi meja dengan model lawas dan juga beberapa bingkai foto kuno yang terpajang pada dinding.
"mbah...," ucap Ratih pelan membuka percakapan, pria itu meletakan gelasnya dan kembali memandang ke arah pintu yang baru saja di tutup.
"Sebenarnya dimana pria musafir yang menuntun saya kesini, dan kenapa ia tidak menumui saya dan justru meminta anda yang menemui saya ?" rentetan pertanyaan itu begitu saja terlontar dari bibir Ratih yang sedari tadi diam.
"oh, maksud kamu Ki Pamungkas ? saya diberikan tugas untuk membimbing kamu sementara ini " ucapnya dengan tenang.
"Saya tidak tau siapa nama beliau karna saya hanya bertemu beliau satu kali dalam dunia nyata, namun beberapa kali beliau datang melalui mimpi saya"
Sesaat kakek tua itu hanya mengamati cangkir dari gerabah yang ia genggam, lalu matanya terlihat menerawang, seolah-olah tak mendengar pernyataan Ratih. Sejenak dia menghela nafas dan memperbaiki posisi duduknya yang setengah merosot di kursi.
Setelah minum air putih beberapa teguk, kakek tua itu mulai bercerita.
"Namaku Brojo, biasa dipanggil Eyang Brojo . saya sudah tinggal tempat ini dalam beberapa tahun, namun tiba- tiba datang seorang pria yang keilmuanya cukup tingggi dan meminta saya untuk menjemput kamu lalu mengajarimu beberpa dasar keilmuan spritual," suaranya terdengar lirih dan terbata saat menyebut nama itu. Raut wajahnya pun bercampur aduk, aura kesedihan dan rona bahagia muncul saat membicarakannya.
Eyang Brojo melinting dan memilin kertas berisi tembakau yang ia ambil dari laci meja, sambil menghisap cerutunya, ia melanjutkan ceritanya,
"Sebenarnya Ki Pamungkas dulu adalah teman seperguruan saya, namun karena dia tidak berpendirian teguh dia sempat salah jalan , ia begitu terlena dengan ambisinya dalam kehidupan duniawi hingga memperjual belikan keilmuannya. Maklumlah, ia hidup di keluarga wong cilik. Jauh dari kata layak. Ia sangat berharap bisa membawa banyak perubahan bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya, maka dari itu, ia berupaya keras mendapatkan uang meskipun dengan memperjualkan keilmuannya, sedangkan sebelum kami mempelajari keilmuan kita sudah di sumpah untuk mempergunakan ilmu kita dengan baik dan tidak mencari kehidupan duniawi. Karena tujuan keilmuan kita adalah membantu sesama dan mencapai hakikat tertinggi ketuhanan. Namun sayang, ambisinya menghancurkan hidupnya sendiri. Habis! Tanpa sisa!" sejenak kakek itu meletakkan cerutunya, minum air putih dan melanjutkan ceritanya.
"Kemudian untuk mencapai ambisinya itu, Ia menikah dengan seorang perempuan dengan bangsa jin meninggalkan anak istrinya, demi memperkuat keilmuannya dan mendapatkan harta duniawi. Namun sayangnya, wanita jin itu terkenal sangat kejam dan penuh pamrih. Dia telah membunuh beberapa suami manusianya ketika keinginannya tidak lagi terpenuhi. Tak cukup sampai disitu, wanita Jin itu akan terus mencari lelaki untuk memuaskan nafsunya. Hal tersebut lah yang membuat Ki Pamungkas merasa tidak sanggup dan memilih untuk kabur, namun orang-orang dari golongan jin itu tidak akan dengan mudah membiarkan Ki Pamungkas untuk lolos, mereka senantiasa memburu Ki Pamungkas untuk di bunuh atau dijadikan budak bangsa jin. Untungnya Ki Pamungkas memiliki basic keilmuan yang cukup bisa membuatnya kabur. Namun sayangnya, sikap pengecutnya itu membuat satu persatu keluarganya yang menjadi korban kebengisan Ratu Jin itu. Akhirnya ia kembali ke padepokan dan meminta bantuan guru untuk melepaskannya dari belenggu wanita Jin itu. Sayangnya ketika dia kembali, guru telah meninggal 3 hari sebelum dia kembali. Tetapi sebelum guru meninggal ia menitipkan sebuah tongkat untuk di berikan kepada Ki Pamungkas jika ia kembali."
Eyang Brojo nampak terpekur sesaat, raut wajahnya tiba-tiba berubah, penuh dengan kesedihan saat melanjutkan ceritanya.
"Sejatinya tongkat itulah pembimbing serta hukuman untuk Ki Pamungkas yang telah lalai dalam mempergunakan keilmuannya hingga ia tersesat ke dalam lingkaran hitam bangsa Jin"
"Pantas saja waktu itu Ki Pamungkas mengatakan kalau langkahnya tidak di tentukan oleh kakinya tetapi di tentukan oleh tongkatnya. Bahkan dirinya sendiri tidak tau kemana tongkat itu akan membawanya"
"Sifat serakah terkadang memang membuat seseorang lupa diri dan buta akan duniawi yang pada dasarnya hanya untuk ditinggalkan"
Ratih masih khidmat saja mendengar cerita eyang Brojo, ia tidak menyangka Pria musafir yang di temuinya itu mempunyai masa lalu yang kelam. Padahal ketika bertemu dan berbicara dengannya, ia terlihat begitu bijak dengan segala bentuk kearifannya.
Eyang Brojo meneruskan ceritanya, "Saat ini Ki Pamungkas sedang menjalani hukumannya, ia harus menebus dosa-dosanya. Dan Untuk benar-benar melepaskan diri dari cengkraman wanita bangsa Jin itu, ia harus benar-benar mencapai hakikat Tuhan."
Pria tua itu kembali terbata-bata saat bercerita, suaranya perlahan melirih menahan tanggis.
"Sejak saat itu saya sudah tidak pernah bertemu dengan Ki Pamungkas lagi, Dan semalam dia ngerogo sukmo menemui saya, meminta saya untuk menjemputmu dan menjadikanmu sebagai muridku serta mengajarimu keilmuan. Dia tidak menceritakan secara jelas jadi sekarang saya ingin mendengarnya secara langsung dari kamu tentang maksud dan tujuan kamu, serta bagaimana caranya kamu bertemu denganya hingga dia begitu mempercayakanmu pada saya"
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Santet Pring Sedapur
Mystery / ThrillerMungkin ada beberapa orang yang sudah mendengar nama Santet Pring sedapur , dimana santet ini terkenal sangat mematikan dan tidak akan pernah berakhir sampai keturunannya habis. Biasanya orang yang terkena santet ini akan meninggal satu persatu samp...