Bertambahnya Pelaku Santet

1.6K 76 1
                                    

Ilalang dan rumput liar masih merunduk, di ujungnya tampak bulir air menggantung memantulkan cahaya matahari. Bebatuan ditepi sungai yang tadinya terasa dingin saat tersentuh, kini mulai terhangatkan, lalu tampak berasap karena basah semalam mulai menguap.

Sesaat sebelum beranjak kembali naik ke Rumah Paklik Leman , tiba-tiba Ratih terdiam. Ia merasakan pusing saat pandangannya menghadap langsung ke arah tebing di pinggir sungai . Ia tertunduk dengan kedua tangan memegang lutut.

"Rat, kamu nggak apa-apa, 'kan?" tanya Sinta memastikan keadaan Ratih yang tampak pucat.

"Saya pusing, Bu!" Ratih duduk dan menyandarkan tubuhnya pada batu besar disisi sungai. Wajahnya memerah karena hendak muntah.

Bayu segera membungkukkan badan membelakangi Ratih.
"Ayo, naik, Rat. Kita harus segera kembali "

"Gak usah mas, Ratih bisa sendiri" tolak Ratih malu

"Gak apa-apa gimana, wajahmu pucat gitu " ucap mas Bayu Supir yang di sewa Sinta.

"Udah Rat, naik aja daripada kamu pingsan malah repot kita ntar" sahut suami Mbk Nur.

Perlahan Ratih mencoba untuk bangkit, lalu naik ke punggung Bayu dengan hati-hati. Ia melingkarkan kedua tangannya ke leher Bayu.

"Maaf, ya, saya jadi beban buat mas," ucap Ratih pelan di samping telinga Bayu.

"Udah, jangan bicara dulu, istirahat aja!" balas Bayu

Bayu mulai melangkah perlahan dengan dituntun Suami Mbak Nur agar tidak salah memijak jalur. Lintasan berupa batuan lepas dengan kontur tanah yang miring seakan mengintai kelengahan mereka.

"Mas Bayu, cukup ... kayanya udah mendingan, deh," ucap Ratih.

"Yakin?"

"Iya, mas."

"Sini Ibu Papah kamu" Sinta menawarkan.

Ratih mengangguk.
"Iya, Bu "

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Langkah demi langkah, mereka pijakkan kaki menaiki jalur yang sangat terjal untuk naik keatas. Setelah semalam diguyur air langit, kini dahi-dahi mereka mengkerut menahan lelah. Asin keringat yang menetes dari ujung hidung sesekali tercicipi saat jatuh membasahi bibir. Rasaya percuma saja mereka tadi mandi dan cuci muka.

Mungkin karena mereka semua belum terbiasa jadi merasa sangat lelah ketika kembali naik keatas. Kontur tanah menuju sungai memang sangat miring dengan jalan setapak yang nampak licin akibat hujan semalam. Jadi mereka harus berjalan hati-hati supaya tidak jatuh terpeleset.

Karena suhu mulai panas, suami mbak Nur melepas jaketnya, lalu menyandarkannya pada bahunya .

"Huuhh! Capek sekali " keluhnya.

Mbak Nur mengambil daun lebar di bahu jalan, lalu mengipas-ngipaskan daun itu ke tubuh dan wajahnya. Ia tak menyadari bahwa daun yang ia petik adalah tumbuhan semak gympie yang sangat beracun. Orang lokal biasa menyebut tumbuhan semak itu dengan sebutan jelatang bulan atau jelatang api.

Tumbuhan semak gympie merupakan spesies tumbuhan beracun yang ditumbuhi bulu-bulu halus pada permukaan daun dan batangnya. Jika terkena kulit, maka akan terasa sangat gatal dan panas seakan ada gigitan ribuan semut api pada daerah yang terinfeksi. Tumbuhan ini dapat tumbuh hingga dua meter dengan ciri-ciri daun serupa daun waru, tetapi agak lebar dan ditumbuhi bulu halus.

Detik-detik kemudian, racun semak gympie mulai bekerja pada tubuh mbak Nur.

"Aduh! Tolong liatin keningku mas, ada semut. Ah, dada ku panas ... gatal!" Ucap mbak Nur sedikit berteriak pada suaminya sambil menggaruk wajah dan dadanya hingga memerah.

Suaminya mencoba memeriksa kening mbak Nur.

"Nggak ada apa-apa, kok," ucap suaminya meyakinkan.

Mbak Nur terus mengeluh dan menggaruk dadanya hingga tampak garis-garis luka bekas cakaran kuku di dada, leher, dan wajahnya. Lalu, tak lama daerah yang ia garuk itu membengkak parah.

Semua orang kebingungan atas apa yang menimpa Mbak Nur. Bergegas mereka mempercepat perjalanan agar segera sampai di kediaman Paklik Leman. Perjalanan yang mereka rasakan benar-benar terasa lama dan banyak kejadian aneh yang bertubi-tubi.

Sesampainya di Rumah Paklik Leman, Sinta langsung mengadu pada mbah Ngatinem dan segera mengoleskan salep pada bengkak kemerahan ditubuh Mbak Nur. Mulai dari permukaan tubuh dan wajah Mbak Nur yang terinfeksi, tetapi usahanya tak membuahkan hasil. Bahkan, kedua bola matanya kini tak terlihat karena kedua kelopaknya membengkak dan bibir melebar dua kali lipat.

"Ya Allah, gimana ini, ?" Suaminya terlihat sangat panik melihat kondisi mbak Nur.

Mbah Ngatinem mencoba memastikan keadaan mbak Nur yang mulai tampak sempoyongan karena reaksi alergi yang hebat. Dan Kini, ia kesulitan bernafas.

"Jangan pegang daun itu, buang! Daun Itu beracun !"
Ucap mbah Ngatinem dengan panik.

"Ayo, kita bawa mbak Nur ke dokter aja mas" Bayu memberi ide karna takut alergi mbak Nur semakin parah.

Suaminya pun segera membopong mbak Nur, hendak membaringkannya di dalam mobil untuk segera di bawah ke dokter atau rumah sakit terdekat.

"Mau kemana ?"
Tiba-tiba sebuah suara serak muncul dari balik tirai pintu ruang tengah .

"Mau ke dokter Paklik"
jawab suami mbak Nur Cepat.

"Lha kenopo toh ?"

Ratih agak terkejut karna ternyata Paklik Leman bisa juga mengunakan bahasa indonesia meskipun nada bicaranya sedikit medok dan campur aduk.

"Anu Paklik gak tau istri saya tiba-tiba gatal-gatal "
Jelas suami mbak Nur

"Itu lho pak, dia kena racun jelatang" tambah mbah ngatinem menjelaskan.

"Oalah, yaudah cepat bawa ke Pak Tarjo aja rumahnya di ujung jalan ini, belok kanan terus ada pertigaan ke kiri nanti ada Plakatnya "jelas Paklik Leman.

Bayu dan Suami mbak Nur pun langsung bergegas membawa mbak Nur ke tempat Pak Tarjo dengan di temani Sahrul supaya mereka tidak tersesat .

Setelah mereka berangkat Ratih baru sadar kalau sedari tadi tidak melihat Bapaknya. Ia pun segera bertanya pada ibunya.

"Bapak mana lho, Bu ?"

"Tenang nduk Bapakmu lagi ada di kamar, ayo sarapan dulu" jawab Paklik Leman.

Mereka semua pun sarapan bersama, selesai sarapan Paklik Leman menghisap sebatang Rokok yang ia buat sendiri. Setelah beberapa kali menghisap rokoknya, Paklik Leman mulai membuka obrolan.

"Agak sulit, karna ini Santet bukan sembarang santet. Terlebih seseorang yang memakai jasa dukun santet ini telah mempelajari ilmu santet itu sendiri sehingga ia terus-terusan meluncurkan santetnya."

Sinta tertunduk sedih, wajahnya terlihat muram penuh penyesalan. Ratih memperhatikan mimik wajah ibunya yang sedih kemudian melirik Paklik Leman yang menghisap rokok sambil mengerutkan keningnya .

"Lalu bagaimana Paklik ?" Perlahan Sinta mengangkat kepalanya dan bertanya dengan nada penuh kekhawatiran.

"Memang agak sulit untuk mematahkan santet ini tapi bukan berarti tidak bisa"

"Apakah harus ada salah satu anggota keluarga yang harus melakukam ritual untuk mengalahkan santet ini ?" Seloroh Ratih

"Hmm," Paklik Leman mengangguk

"Hanya saja melakukan itu juga tidak mudah karna saat ini ada 3 orang yang berperan dalam praktisi santet pring sedapur ini. Satu adalah si pemakai jasa, dua si pembiaya dan tiga si dukun. Dan saat ini mereka semua berkerja sama untuk melakukan praktisi santet sampai ke akarnya."

"Hah, si pembiaya ? Apakah ada orang lain lagi yang membenci saya ?" Sinta sedikit terkejut dengan ucapan Paklik Leman yang mengatakan ada orang yang membiayai pelaku santet.

"Sepertinya begitu"

"Apa salah saya sampai orang itu juga membenci saya ? Karna selama ini saya hanya merasa punya masalah dengan mantan IRT saya itu"

"Sebenarnya tidak ada masalah, hanya saja orang ini sangat dekat dengan si pelaku santet dan dia juga merasa iri pada pencapaian keluargamu yang berada di atasnya"






Santet Pring SedapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang