Kediaman Paklik Leman

1.6K 81 1
                                    

"Aaaaaaaa!"
jerit Ratih menahan sakit seraya ingin bergerak dan menghindar namun paklik Leman menahannya dan memintanya untuk tenang.

Hampir saja tubuhnya jatuh kedepan karna dia tidak tahan dengan panas yang ia rasa di tekuk lehernya , serta rasa seperti di tusuk sebilah pisau di bagian leher dan kepalanya. Untungnya dengan sigap Sinta menahannya.

"Sudah tidak apa-apa ?!"
Ucap Paklik Leman sesaat setelah menarik dengan kuat sesuatu ke ujung kepala Ratih. Saat itu Ratih merasakan kepalanya seakan masuk kedalam lonceng besar yang bergetar begitu keras.

Ratih berbalik memandang Paklik Leman dengan perasaan penuh tanda tanya.

"Apa yang terjadi ?" tanyanya ragu-ragu.

Paklik Leman hanya tersenyum sedikit lalu memberikan gerakan agar Ratih kembali ke tempat duduknya dan minum segelas air putih yang telah di siapkan oleh Paklik Leman sebelumnya.

"Hoeeeekk !!!"

Ratih hampir muntah ketika dia mencium aroma air yang di minta untuk ia minum . Air itu beraroma sperti kemenyan dan berbau sangat wangi seperti bunga sedap malam. Ia melirik Paklik Leman sesaat dan Paklik leman hanya menjawab dengan gerakan tanganya supaya Ratih terus meminumnya sampai habis.

"Habiskan" ucap Sinta menerjemahkan isyarat Paklik Leman.

Ratih menarik nafas dalam-dalam lalu dengan cepat menghabiskan air di dalam gelas tanpa bernafas. Tangannya menutup mulutnya supaya ia tidak memuntahkan air yang baru saja ia minum. Wajahnya terlihat memerah karna menahan rasa mual yang di keluarkan oleh aroma air yang baru saja ia minum.

Tangan Ratih berangsur angsur meraih kepalanya. Ia merasakan kepalanya begitu berat. Memaksanya untuk bersandar di bantalan kursi. Sinta menatap lekat Paklik Leman.

Lagi-lagi Paklik Leman hanya menjawab dengan santai mengunakan bahasa jawa yang hampir tidak di mengerti Ratih sama sekali , namun Sinta dan orang-orang yang berada di situ terlihat sangat memahami bahasa Paklik Leman.

"Hei, tenang, Rat. Tenangkan diri kamu dulu dan tidurlah " ucap mbak Nur mengelus lembut lengan Ratih

Ratih mengangguk. Sedetik kemudian ia menengok ke belakang melihat Bapaknya sudah tidur pulas. Lalu  kembali menatap Paklik Leman dan orang-orang disekitarnya.

"Yaudah, Ratih tidur dulu" ucapnya sembari beranjak dari tempat duduknya dan kembali ke sisi Bapaknya untuk tidur.

***

Keesokan paginya ketika ia terbangun orang-orang sudah tidak ada, Bapaknya juga sudah tidak ada lagi di sampingnya. Rumah ini terlihat sepi, entah kemana orang-orang pergi. Ratih mengucek matanya sebentar lalu duduk melipat selimutnya.

Beberapa kali ia memutar kepalanya untuk menemukan seseorang, namun yang ada hanyalah suara berisik di belakang seperti seseorang sedang membuat sesuatu. Ia memandang kesekeliling rumah itu yang terlihat bangunannya sangat sederhana dan bahkan dinding-dindingnya masih terbuat dari kayu.

Di salah satu dinding terdapat beberapa gambar walisongo dan beberapa tulisan jawa yang entah apa bacanya Ratih tidak mengerti sama sekali. Di atas pintu ruang tengah juga terdapat dua keris yang di gantung diatas dinding dan di tengahnya terdapat lukisan pria tua yang mengenakan pakaian adat jawa kuno.

Tidak ada yang istimewa di Rumah Paklik Leman, semua terlihat sangat sederhana dan bahkan tidak ada satupun alat elektronik di rumah ini, semua perabotannya terbuat dari kayu termasuk dindingnya.

Ketika ia berdiri, ia mendapati beberapa camilan serta beberapa nasi yang dibungkus daun jati di atas meja . Ratih menghela nafas sesaat, mengambil ponselnya lalu berniat menelpon ibunya untuk mengetahui keberadaannya. Namun baru saja ia menekan tombol di layar ponselnya seseorang datang membawa beberapa gelas minuman dengan nampan .

"Sudah bangun nak , ?" Suara lembut sesorang mengagetkan Ratih, yang tak lain adalah mbah Ngatinem istri Paklik Leman.

"Kemana orang-orang pergi ?" Tanya Ratih sesaat kemudian.

"Sebagian dari mereka pergi kesungai dan sebagian lagi pergi memetik petai di samping rumah. Kalau kamu mau menyusul biar anak mbah yang anterin sekalian panggil mereka untuk sarapan"

"Iya " Ratih langsung mengangguk dan minta segera di antar menemui ibu atau bapaknya.

Mbah Ngatinem segera memanggil salah satu anak bungsunya yang usianya sekitar 15 tahunan untuk mengantarkan Ratih.

"Mbak mau ke sungai atau mau ke pohon petai ?" Tanya Sahrul anak bungsu mbah Ngatinem.

"Mana yang paling dekat ?"

"Kalau yang paling dekat ya ke pohon petai mbak soalnya ada di samping rumah"

"Yaudah kita kesitu aja"

Segera Ratih memakai sandalnya dan mengikuti Sahrul ke luar rumah. Betapa takjubnya Ratih ketika berada di teras Rumah. Udaranya sangat sejuk dan ada beberapa pohon rambutan yang mulai berbuah sangat lebat. Di bawahnya terdapat beberapa bunga-bunga yang di tanam sangat indah.

Di sebelah kanan rumah itu adalah hutan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon liar dan di sebelah kirinya adalah jurang . Rumah itu dikelilingi oleh pagar bambu setinggi satu meter dengan beberapa bunga melati yang menghiasinya.

Sahrul mengajak Ratih ke samping kiri Rumah dan menunjukkan letak pohon petai yang berbuat sangat lebat di ujung jurang serta di bawahnya nampak Mbak Nur dan Sinta berusaha memetik buah petai mengunakan kayu panjang.

Ratih sedikit bergidik ngeri melihat betapa tingginya rumah ini dan sepintas membayangkan kalau ada yang terperosok jatuh kebawah. Memikirkan bisa-bisanya seseorang membangun rumah di samping jurang.

"Gimana mbak, jadi turun kebawah ?" Tanya Sahrul membangunkan pikiran-pikiran negatif Ratih.

"Em, iya "

Sahrul membimbing Ratih melewati jalan setapak yang curam.
Sepanjang jalan Ratih terus melihat kesamping kiri kanannya yang banyak ditumbuhi pohon-pohon besar ,Rasanya ia sudah tak sabar untuk segera sampai ke tempat ibunya.

Sekilas ia melihat kakinya yang terasa perih, nampak banyak luka goresan duri tajam di sana. Mungkin saking asiknya ia melihat pemandangan disekitar jadi ia tidak memperhatikan langkah kakinya yang menginjak beberapa rumput liar berduri.

Akhirnya setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai juga di tempat Sinta dan Mbak Nur mengambil petai. Ratih melihat mbak Nur terus memainkan kayu panjang mengapai buah petai sendirian. Sedangkan Sinta berdiri di sampingnya sambil terus mengintruksi Mbak Nur.

"Ibu!" Panggil Ratih dengan senyuman aneh.

"Udah bangun kamu ?" Sinta hanya melirik Ratih sekilas kemudian kembali fokus mengintruksi mbak Nur yang sedari tadi tidak mendapatkan hasil sama sekali.

Sahrul menatap mereka dengan geli, lantas menawarkan untuk membantu memetik buah petai karna cara yang mereka gunakan untuk memetik buah petai salah.

Mereka semua menoleh ke arah Sahrul dengan senyum semringah dan segera memberikam kayu yang di pegang mbak Nur kepada Sahrul.

Sesaat kemudian mereka menatap ke arah plastik kresek yang sudah mereka persiapkan sebelumnya sudah penuh dengan buah petai.

Mbak Nur memeluk kresek yang penuh dengan petai itu dengan sangat bahagia.

"Sini Budhe,biar Sahrul bantu bawakan supaya Budhe bisa langsung kesungai untuk mandi"

Dengan senang hati Mbak Nur langsung memberikan kresek yang penuh petai itu kepada Sahrul. Lalu mengajak Sinta dan Ratih turun kebawah menuju sungai untuk mandi.




( Santai dulu ya, menikmati pemandangan biar gak terlalu tegang )😅








Santet Pring SedapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang