Kerasukan

1.4K 67 2
                                    

Untunglah tak berapa lama Sinta datang, disusul oleh Ratih di belakangnya.Untung saja kedua orang yang di harapkannya segera menyadari dengan apa yang terjadi padanya tanpa ia harus menjelaskan.

Dengan segera Sinta dan Ratih menahan tangan Nana, melepaskan rambut Nina dari cengkraman tangan Nana , setelah terlepas segera mereka  menyuruh Nina menjauh.

Nana kembali tertawa sambil menengadahkan kepalanya.
Sesekali ia meronta berusaha untuk melepaskan kedua tangannya yang di pegang oleh Sinta dan Ratih.

"Sepertinya Nana kesurupan." Ucap Sinta yang masih terus berusaha memegangi tangan Nana.

"Pergi!!, Pergi kalian!!"

"Manusia tak tahu diri. Aku akan menghabisi seluruh keluarga kalian!!" Hardik Nana dengan suara serak-serak parau.

Sementara Ratih terdengar sedang membacakan doa. Nina segera berjalan mundur keluar kamar Nana dan mengintipnya di balik pintu.

"Nana, sadar?" Ucap Sinta khawatir. Seraya menarik kedua tangannya kebelakang untuk mengendalikan Nana yang berontak sambil terus tertawa.

"Mbak Nana gila" Ucap Nina seraya menahan air mata yang terasa akan kembali tumpah.

"Hahahaha...kalian pikir kalian bisa mengalahkanku, hahhaha...!"

"Kalian semua akan mati hahahhah....!"

Mendengar ucapan Nana, Sinta menjadi geram, segera ia bangkit dan hendak menampar pipi Nana. Tetapi Ratih segera menahan tangannya, mencegahnya untuk menyakiti Nana

Walaupun Sinta terlihat tak sabar, tetapi beruntung ia mau menuruti perkataan Ratih. Ia kembali duduk dan memeganggi tangan Nana yang bergerak semakin frontal.

"Tunggu saja siapa yang akan mati " jawab Ratih dengan santainya sembari menempelkan benda pemberian Ki Pamungkas tepat di dahi Nana. Hal itu sontak membuat Nana menjerit kesakitan dan tak sadarkan diri.

Anehnya, setelah Nana tak sadarkan diri, lampu kembali menyala. Segera Ratih meniup lilin yang  tadi ia bawa dan meletakkannya tak jauh dari tempatnya berada.
Terlihat Nana begitu berantakan dengan muka pucat yang nampak sangat kelelahan.

Sinta duduk termangu dengan menatap tubuh Nana yang memprihatinkan.  Ia berharap mudah-mudahan setelah ini semuanya akan baik-baik saja dan tak ada gangguan lagi.

.
.
.
.
.

*****

Beberapa pekan berlalu, kondisi Nana masih saja sering kerasukan. Ia bahkan engan makan nasi meskipun hanya sebutir saja. Tubuhnya bahkan kian hari kian mengurus dan hampir di setiap malam ia terjaga, moronta dan mengomel tak karuan. Namun kondisi itu akan berhenti ketika Ratih datang, sekalipun Ratih tidak melakukan sesuatu. Jin yang merasuki Nana seakan ketakutan ketika melihat Ratih.

Ratih sudah beberapa kali membuat pagar ghaib di tubuh Nana , namun karna saking banyaknya jin yang mengelilingi Nana membuat pagar ghaibnya tak bertahan lama. Selain itu ada beberapa orang oknum yang secara gempuran terus mengirimi makhluk jahat untuk menganggu keluarganya.

Beberapa waktu ini memang Ratih sedikit sering keluar rumah guna mencari beberapa media untuk melawan Santer Pring Sedapur. Ia bahkan sampai rela pergi keluar kota demi mengumpulkan berbagai media untuk melawan Santet Pring Sedapur.

Sampai tibalah disuatu malam Ratih mengeluarkan sebuah buntelan Kain putih yang sudah di berikan Eyang Brojo sebelumnya. Ia menunjukkannya kepada Nina.

"Ini adalah Pring Kuning yang di pilih secara khusus oleh Eyang Brojo. Pring ini sudah di berikan mantra dan di ritualkan secara khusus. Besok malam saya akan berperang melawan Santet Pring Sedapur. Akan tetapi saya butuh seseorang untuk menancapkan Pring ini pada salah satu lubang buaya " jelas Ratih membuat Nina tercengang.

"Siapa yang akan melakukannya ?" Tanya Nina seketika

"Kau..."

"Hah ,! Apa kamu gak salah ? Itu namanya bunuh diri . Bagaimana jika ketika aku menancapkannya lalu buaya-buaya di situ menerkamku ?"

"Aku sudah mengkoordinasi dengan penjaga penangkaran buaya. Kamu akan aman ketika kamu mengikuti arahannya"

"Tetap saja itu tidak bisa menjamin keseluruhan keselamatanku"

"Lantas , apa kau ingin menerima takdirmu begitu saja di makan Santet Pring Sedapur ? Apa kau tak melihat berapa banyak keluarga kita yang mati karna Santet ? Apa kau tak melihat betapa menderitanya Nana, Betapa sakitnya Bapak , dan betapa lelahnya ibu memikirkan semua ini ? . Saat ini kita hanya punya dua pilihan, menunggu mati di makan Santet Pring sedapur atau mati melawan Santet Pring Sedapur. "

Nina terdiam,

"Paling tidak,kita harus berusaha untuk menyelamatkan sisa keluarga kita. Jangan biarkan Nana menjadi korban berikutnya,lalu kemudian entah siapa ?"

"Lalu apa yang harus aku lakukan ?"

"Apapun yang kamu lihat nanti jangan pernah bergeming atau mundur, mungkin kamu akan bertemu makhluk-makhluk aneh untuk menganggumu dalam proses menancapkan Pring itu ke lubang buaya. Namun jangan tertipu karena mereka hanya meminjam sosok-sosok seperti itu atau pun makhluk hidup lain, karena sejatinya jin atau iblis tidak memiliki bentuknya sendiri maka mereka menyerupai bentuk makhluk lain baik yang seram atau pun yang biasa biasa saja." Jelas Ratih mensuport Nina.

"Teruslah ber Sholawat dalam proses menancapkan Pring tersebut dan jangan pernah takut kepada mereka karena kita lebih sempurna dibanding mereka, jangan juga mudah tertipu oleh tipu muslihatnya untuk mengagalkanmu."

"Lalu apa yang kau lakukan jika tugas berat itu aku yang lakukan ?"

"Aku akan melakukan pemagaran ghaib di rumah dan berperang melawan Santet Pring Sedapur."

"Jika kamu mau melawannya lalu kenapa aku juga harus ikut ambil andil menancapkan bambu itu ?"

"Kunci utama perang ini adalah ketika bambu itu di tancapkan kekuatan makhluk kiriman santet itu akan melemah sehingga aku memiliki kemungkinan besar untuk mengalahkan mereka"

Ingatan Nina melayang pada waktu Bapaknya meregang nyawa. Semua potongan kejadian mengerikan yang pernah ia alami terputar otomatis dalam kepalanya. ingatan-ingatan itu masih tergambar jelas dan tidak mungkin bisa ia lupakan. Ia bahkan hampir kehilangan nyawanya di tangan Nana.

"Jangan melamun, Nin ! Cepat, putuskan kamu mau atau tidak karena waktu kita hanya malam ini saja" 

Dengan cepat Nina beranjak dan mengambil kain putih berisikan bambu kuning yang telah di rajah. Ratih tersenyum tipis lalu melangkah dengan tergesa menuju ke dalam kamarnya dan mengambil sebuah keris kecil lalu memasukkan keris itu kedalam saku baju Nina.

"Simpanlah, ini akan menjaga dirimu"

Nina masih terdiam dengan kening yang di kerutkan. Ratih tau betul bahwa sebenarnya Nina enggan untuk melakukan tugas ini, namun ia tak memiliki pilihan lain selain membantunya untuk menyelamatkan kelangsungan hidup keluarganya.

Ratih lalu berjalan ke kamar Nana, ia memanggil nama ibunya karena tadi ibunya pamit menjaga Nana.

"Bu...ibu dimana ?" Teriak Ratih

Tak ada jawaban, ia juga tidak mendapati sosok sang ibu. Hanya ada Nana yang terlelap. Perut wanita itu naik dan turun secara teratur. Ia memicingkan mata ketika menyadari Sinta ternyata ada di belakang pintu kamar.

"Bu..?" panggilnya lirih, namun wanita itu hanya diam sambil menundukkan kepalanya.

Merasa ada yang janggal, Ratih segera mundur beberapa langkah. Ia mengucapkan mantra yang diajari oleh Eyang Brojo, bertujuan untuk mengetahui makhluk apa yang kini berada di dalam tubuh ibunya. Benar saja, seketika Sinta menatapnya dengan tatapan kosong. Wanita itu kemudian menyeringai dengan suara tertahan. Ratih mendesah saat menyadari ibunya sudah melayang beberapa senti di atas lantai.

"Kamu datang lebih cepat!" desisnya menggertakkan giginya.

Sinta memiringkan kepalanya, tubuhnya terlihat sedikit bergetar, ia melayang sambil terus menyeringai ke arah Ratih yang sudah memasang aba-aba untuk melawan. Segera ia mengambil Benda pemberian Ki Pamungkas dari dalam sakunya, kemudian kembali membaca sesuatu.

Sinta terlihat melotot dengan bibir terbuka lebar. Terdengar suara kemarahannya mengelegar hingga menggema di seluruh ruangan.

Bersambung....

Santet Pring SedapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang