Mati

1.4K 68 5
                                    

Disisi lain sepanjang malam Pak Sholeh terus merintih serta meraung kesakitan.

"Argh! Ampun, aduuuh ! Sakit!" Suara teriakan Pak Sholeh membangunkan Nina yang berjaga di luar ruangan.

Nina  bangkit dan menuju ke ranjang Bapaknya. Langkahnya sangat cepat kala teriakan Pak Sholeh semakin sering terdengar. Suara raungan kesakitan Pak Sholeh menggema di ruangan rumah Sakit, bersahut-sahutan dengan tangisan seorang ibu di sebelah kamarnya yang baru saja kehilangan Suaminya.

Tiba di ambang pintu kamar mandi langkahnya terhenti, napasnya tercekat dengan mata membeliak. Di dalam sana terlihat sesosok tinggi besar yang menyeramkan tertawa terbahak-bahak seolah teriakan kesakitan Pak Sholeh adalah hiburan baginya.

Nina mencoba mengabaikan makhluk itu dan berjalan cepat menuju ranjang Bapaknya.

"Bapak! Kenapa, Pak! Mana yang sakit ?!" tanya Nina panik.

Pak Sholeh seperti tak mendengarkan pertanyaan Nina, ia terus saja meronta kesakitan dan berusaha mengerak-gerakkan sebagian tubuh dan kakinya.

Nina menekan tubuh Pak Sholeh berusaha membuatnya merasa tenang, namun Pak Sholeh melepaskan diri dari tangan Nina. Ia bahkan seakan mengerahkan seluruh tenaga untuk melepaskan dirinya dengan napasnya yang sudah terputus-putus.

"Apa yang Bapak lakukan,? Hentikan Pak, mana yang sakit!" hardik Nina ketika Bapaknya hendak melepaskan diri dari infus yang ada di tangannya.

"Minggir kau!" teriak Bapaknya menggelegar, suaranya menggema memenuhi ruangan itu.

"Nina, pergi! Pergi, Kau, menjauh dari sini!" teriak Pak Sholeh dengan suara lemah.

"Tidak, Pak. Aku tidak akan membiarkan Bapak sendirian! Tunggu sebentar, dokter akan segera datang!"  ucap Nina cemas.

"Dia ingin membunuhku, setelah itu dia akan membunuhmu!" jawab Pak Sholeh seraya mendorong tubuh Nina.

"Pergi, Nak! Pergi! Argh!" Lagi-lagi Pak Sholeh berteriak sambil menahan sakit.

Entah apa yang di lihat dan dialami Bapaknya tapi wajahnya nampak sangat ketakutan. Ini adalah pertama kalinya Nina melihat raut wajah ketakutan Bapaknya. Selama ini Bapaknya selalu menunjukkan expresi tenang dalam segala kondisi. Namun kali ini Nina benar-benar melihat raut kecemasan yang mendalam di wajah Bapaknya.

Di peluknya erat tubuh Bapaknya sekuat tenaga, agar ia bisa sedikit tenang. Namun, Bapaknya tetap berontak dan berteriak, seolah pelukannya tak ada artinya. Tak putus asa, Nana mengambil selang infus yang telah terlepas dari tangan bapaknya lalu mengikat tangan Bapaknya agar sedikit tenang.

"Lepaskan!"

Tiba-tiba Pak Sholeh menghempaskan tangannya, dan Nina terpelanting kebelakang. Tubuhnya ambruk di lantai, dengan mata nanar diliriknya Bapaknya yang kini telah jatuh tersungkur di atas meja.

Tubuh pria paruh baya itu tertelungkup di sudut meja kecil yang berada disisi ranjang Rumah Sakit tak bergerak. Di belakangnya ada sesosok wujud sangat menyeramkan, penuh bulu dan memiliki tanduk. Matanya merah menyala dengan taring yang mencuat panjang dengan lidah menjulur hingga ke lantai. Cairan pekat berbau busuk mengalir dari sela-sela mulutnya yang menjijikan!

"Biarkan aku bermain-main dengannya untuk terakhir kali. Setelah ini giliranmu! Hahahaha!"

Suara tawa makhluk itu menggema memenuhi indra pendengarannya. Nina tercekat, bibir terkatup kuat, tak mampu bersuara.

"Arghhhhh!"

Blam!

Suara teriakan Pak Sholeh yang ambruk bersamaan dengan datangnya beberapa petugas medis yang masuk kedalam ruangan dimana Pak Sholeh di rawat. Dengan merangkak Nina mendekati tubuh Bapaknya.

"Tidak! Bapaakk !" Di goyangkannya tubuh Bapaknya yang sudah tidak bergerak

"Hahaha!" Suara tawa kembali menggema namun sudah tidak menunjukkan wujudnya lagi.

***

"Kak! Kakak!" Tepukan di pipi Nina membuatnya membuka mata. Nina langsung terduduk seraya berteriak memanggil Bapaknya.

"Kak! Tenang, tenang!"

Ia menoleh ke arah suara, ternyata seorang suster yang berada di sisinya. Diliriknya sekitar , ternyata dia sedang berada di ruang rawat rumah sakit.

"Dimana Bapak ? Mana Bapakku ?"teriak Nina histeris mencari keberadaan Bapaknya. Dia berjalan mondar mandir sambil sesekali menguncang bahu perawat yang menemaninya.

"Bapak dimana ?" Bapaaaak !!" Teriaknya berderai air mata.

"Kak tenang dulu ? Kamu baru saja siuman setelah tiba-tiba pingsan, tenangkan diri kamu dulu" tutur perawat itu

Nina menggeleng.

"Aku nggak apa-apa. Dimana Bapak ku ?"

"Mbak yang tabah ya, Pak Sholeh telah meninggal dunia" jawab perawat itu sambil mengelus pundak Nina dengan lembut

Mendengar ucapan perawat itu, Nina kembali berteriak histeris teringat kejadian tadi. Bapaknya yang tiba-tiba berteriak kesakitan hingga kemudian segumpal asap hitam keluar dari mulutnya dan melesat membentuk wujud makhluk mengerikan.

"Dimana Bapak sekarang?" tanya Nina serak.

"Saat ini jenazahnya masih berada di ruang ICU" jelas perawat tersebut.

.
.
.
.
.

*****

Ratih berdiri di ambang pintu Rumah Eyang Brojo, matanya tidak sedikitpun bergeming menatap ke jalan setapak di halaman luar rumah tersebut yang sudah nampak gelap. Entah kenapa pikirannya akhir-akhir ini merasa tak tenang setelah beberapa kali ketika ia bermeditasi bayangan Bapaknya kerap kali muncul.

Sejenak Ratih menarik nafas dalam lalu menghembuskannya dengan kasar. Matanya kemerahan karena tidak tidur beberapa hari demi menyelesaikan Ritualnya.

"Kalau kamu merasa lelah istirahatlah, jangan terlalu memaksakan diri untuk cepat menyelesaikan ritual ini"
Ucap Eyang Brojo yang sedari tadi memperhatikan Ratih dari belakang.

"Tapi kalau saya tidak cepat melakukan Ritual ini, saya takut semuanya akan terlambat" jawab Ratih menundukkan kepalanya.

"Segala apa yang ada di dunia ini tidak terlepas dari Takdir, percayalah jika takdir keluargamu tidak habis di makan Santet Pring Sedapur maka kamu mungkin akan bisa menyelamatkan keluargamu"

Ratih terdiam, kembali ia menatap lurus ke depan yang mulai di hiasi bintik-bintik air dari langit. Udara dingin mulai terasa ketika angin berhembus masuk kedalam rumah. Aroma kemenyan dan dupa yang di bakar Eyang Brojo membuat jantung Ratih berdebar. Menandakan Ritual selanjutnya akan segera di lakukan.

Satu jam telah berlalu, gerimis hujan di luar sudah nampak reda dan menyisakan udara dingin di udara. Namun eyang Brojo tidak memerintahkan Ratih apapun untuk melakukan Ritual dan justru meminta Ratih untuk beristirahat saja malam ini.

Ratih yang suntuk pun mulai terkantuk dan memilih masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat sejenak. Namun baru saja ia ingin menutup matanya, tiba-tiba ia di kejutkan dengan munculnya sesosok bayangan hitam yang muncul di luar jendela.

Perlahan bayangan itu berubah menjadi sesosok makhluk berbulu tinggi besar. Makhluk itu berdiri tegap, matanya merah menyala menatap Ratih. Makhluk itu ingin mendekat ke arah Ratih namun seperti ada pembatas yang menghalanginya.

Makhluk tinggi besar itu lalu berkata kepada Ratih dengan suara berat dan lirih. Ucapannya tidak di mengerti oleh Ratih, namun terlihat jelas bahwa ada nada kemarahan dalam intonasi penekanan suaranya.

Ratih menatap lekat makhluk itu tanpa ada sedikitpun rasa takut. Jika dulu sebelum ia belajar ilmu spritual mungkin dirinya akan ketakutan setengah mati, tapi setelah belajar ilmu spitual perlahan ketakutannya akan makhluk lain mulai berkurang seiring dengan seringnya ia bertemu dengan makhluk-makhluk ghaib lainnya.

Bersambung....

Santet Pring SedapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang