Rumah Eyang Brojo

1.5K 74 3
                                    

Ratihpun menceritakan musibah yang dialami keluarganya sampai ia bertemu dengan Ki Pamungkas yang memberitahukannya tentang prihal Santet Pring Sedapur dan bagaimana cara mengatasinya secara singkat.

"Saat ini keluarga saya sedang di ujung kematian, Bapak saya sedang mengalami sakit yang aneh. Kakinya tiba-tiba menjadi bengkak seukuran tiang listrik dan menjadi sangat kaku . Bahkan dokter dari rumah sakit besarpun tidak bisa mendiaknosanya."

Eyang Brojo menganggukkan kepalanya, kembali ia menerawang jauh dan sepertinya beliau sudah paham dengan permasalahan Ratih.

"Mempelajari ilmu spritual tidaklah semudah belajar di bangku sekolah. Ilmu spiritual memiliki beberapa tingkatan dan untuk melakukannya juga di butuhkan keberanian serta tekad yang kuat. Jalan kedepan tidaklah semulus jalan yang selama ini kamu pijaki, dan kamu harus melakukan berbagai ritual, disitu kamu akan bertemu dengan makhluk-makhluk lain yang mungkin selama ini belum pernah kamu temui untuk mengujimu"

"Saya sudah kehilangan nenek dan kakak laki-laki saya satu-satunya. Jadi saya tidak mau kehilangan keluarga saya lagi, saya akan melakukan apapun demi menyelamatkan keluarga saya, sekalipun nyawa saya sebagai taruhannnya" jawab Ratih mantap.

"Baiklah, sekarang kamu istirahat dulu besok saya baru akan melatihmu, sekarang saya akan melihat seberapa besar wadah penyimpanan spiritualmu".

.
.
.
.
.

Ding!
Dong!
Ding!
Dong!

Suara itu berasal dari sebuah jam tua yang ada diruang tengah rumah Eyang Brojo.

Tidak ada listrik di rumah Eyang Brojo, tapi Ratih tetap bisa menyalakan lampu tempel seperti obor untuk menerangi kamarnya. Bunyi yang di keluarkan dari alarm jam itu,mengingatkan Ratih pada salah satu film horor yang membuatnya bergidik ngeri ketika mendengarkan denting jam kuno itu.

Jam itu berbunyi ditengah malam. Membuat Ratih seperti merasakan kehadiran seseorang.

Ding !
Dong !
Ding !
Dong !

Buka lah pintu, ku datang padamu

Sial! Ratih seperti mendengar suara seseorang memintanya membuka pintu.

Ia berusaha tak menghiraukannya, dan menyibukkan diri dengan bermain ponsel, namun sialnya tidak ada sinyal di tempat itu. Jadi dia hanya bisa melihat lihat isi galeri handphonenya. Mengingat moment-moment bersama keluarganya.

Tak lama kemudian, ia mulai melupakannya.

Tapi ketenangan itu tak berakhir lama, telinganya kembali menangkap sebuah suara. Seperti suara cicak yang sedang merayap, tapi ini terdengar lebih nyaring.

Pada akhirnya Ratih tertarik untuk mencari tahu nya. Dibukanya pintu kamar , yang dengan langsung tertuju ke arah ruang tengah, tempat jam tua milik Eyang Brojo berada.

Tanpa ragu, Ratih melangkahkan kakinya mengikuti suara merayap itu. Yang ia duga bersumber dibalik sekat kayu rumah itu, menuju ruang tengah.

Tap...

Tap...

Tap...

Bruk!

Langkah Ratih terhenti, saat mendapati sesuatu tiba-tiba jatuh tepat di bawah jam tua . Dikarenakan tidak ada lampu diruang tengah , Ratih tidak bisa melihat benda itu dengan jelas, lebih tepatnya sosok.

Sesuatu yang besar, dan merangkak?!

Dapat dipastikan sosok itu menatap Ratih dengan lekat, sebelum akhirnya merangkak dengan cepat ke arah Ratih.

"Aaaaaakkhh....!!"

Ratih berteriak dan tidak perlu menunggu lama, ia segera mengambil langkah seribu. Ratih lari sekencang-kencangnya meninggalkan sosok yang terus mengejarnya itu, ia tidak lagi sempat melihat bagaimana wujud aslinya, Ratih terlalu takut untuk melakukannya dan yang terpenting sekarang adalah keselamatannya.

Saat tangannya hampir menggapai kenop pintu kamar , Ratih mendengar sosok itu memanggil namanya.

Suara nya sedikit asing ditelinganya.

"Ratih?!"

Ratih berusaha mengabaikannya, dengan tidak adanya penerangan di rumah itu membuatnya sulit menemukan kenop pintu kamarnya.

"Ratiih?!"

Ratih berbalik menatap sosok yang tadinya mengejar , yang tak lain adalah seorang wanita paru baya. Ia mengenakan kebaya lengkap dengan kain jarik dibawahnya.

"Si-siapa kamu ? Untuk apa kau mengejarku?" tanya Ratih penuh penekanan.

"Saya Surti mbak, anaknya eyang Brojo" jawab wanita itu lembut.

Ratih menatap lekat wanita itu, lalu matanya menyusuri bagian tubuh wanita itu. Sampai di ujung kaki, Ratih mendengus lega, ketika mendapati kaki wanita itu menampaki lantai yang masih terbuat dari tanah liat yang telah di padatkan.

"Jantungku hampir copot, kenapa mbak harus berjalan merangkak tadi ?" Tanya Ratih dengan mengelus dadanya.

"Maaf ya, mengagetkan hehehe. Tadi saat saya mau menyalakan obor tiba-tiba koreknya lepas dari tangan saya dan saat saya berusaha menangkapnya, malah saya kebentur dinding kayu, jadi saya merangkak meraba-raba mencari korek api yang jatuh "jelas wanita itu diselingi dengan tawa kecil.

"Rasanya saya hampir mati akibat melihat mbak, merangkak tadi?" lanjut Ratih .

Tiba-tiba Mata Ratih tertarik dengan sebuah suara ketukan pintu.

Tok!
Tok!
Tok!

Pandangan mereka berdua segera tertuju ke arah pintu depan.

"siapa yang mengetuk pintu ditengah malam seperti ini?" Pikir Ratih dengan dada berdegub.

Ratih melirik ke arah Surti, Diantara mereka berdua, Ratih yakin mbak Surti lebih memahami situasi dan berharap dia yang akan memberikan jawaban.

"Siapa?!"
Surti memilih berteriak dari tempatnya berdiri saat ini.

"Ini aku!" jawab seseorang dari balik pintu tersebut.

"Aku-aku, jawab dengan jelas! Siapa?!" Surti kembali berteriak.

"Buka dulu pintunya!" sahutnya.

"Apa keperluan mu?!" tanya Surti.

"Ini Bapak !"

Segera Surti merayap kedinding untuk memandu langkahnya membukakan pintu, karna memang ruangan itu benar-benar gelap gulita tanpa penerangan cahaya apapun.

"Kenapa gelap banget ?" Tanya Eyang Brojo

"Koreknya jatuh, Surti mau nyalain obor jadi gak bisa" jelas Surti

"Kamu itu, udah umur juga masih saja ceroboh" gerutu Eyang Brojo sambil merogo kantong celananya dan mengeluarkan sebuah korek api kecil.

Segera surti menyalakan obor, hingga ruangan itu mendapat sedikit penerangan.

"Lho, nduk kok belum tidur ?" Tanya Eyang Brojo ketika menangkap tubuh Ratih berdiri di depan kamarnya.

"Tadi kebangun Eyang "

"Oh iya, ini kenalkan anak saya Surti. Dia tidak tinggal disini hanya sesekali datang menjenguk saya, tadi sengaja eyang panggil dia buat menyiapkan selimut serta tempat tidur buat kamu"
Jelas Eyang Brojo memperkenalkan anaknya.

"Iya eyang, terima kasih"

Sejak istrinya meninggal beberapa tahun lalu, eyang Brojo memilih tinggal di tepian lereng gunung untuk memperdalam ilmu spritualnya dan menjauhkan dirinya dari kehidupan duniawi. Eyang Brojo memiliki 4 orang anak yang sudah berkeluarga semua, dan hanya Surti yang paling sering mengunjungi Eyang Brojo karna memang jarak Rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Eyang Brojo.

Untuk pergi ke kediaman Bapaknya ia hanya perlu melewati jalan setapak dan menyusuri hutan sekitar 30 menitan. Kebanyakan anak-anak Eyang Brojo yang lain tinggal agak jauh dan hanya akan mengunjungi Eyang Brojo 2 atau 3 kali dalam setahun.

Sejak Eyang Brojo memilih mengasingkan diri ke dalam hutan, ia hampir tidak pernah turun dan berbaur dengan masyarakat dan malah justru ada beberapa orang yang dengan sengaja mencari Eyang Brojo untuk meminta bantuan Eyang Brojo.


Bersambung....

Santet Pring SedapurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang