O2

6.1K 552 32
                                    

Baru membatin dalam hati kalau ini tidur ternyamannya, Arkhana langsung merasa sesak ketika sesuatu yang berat menimpa dadanya. Namun masih enggan bangun karena ingin melanjutkan tidur tanpa mimpi buruk nya, tetapi sepertinya Tuhan tidak mengizinkan karena sekarang hidung Arkhana terasa gatal. Seperti ada kemoceng sedang dimasukan ke dalam lubang hidungnya.

"Eungh!"

Hatcim!

Terpaksa Arkhana membuka matanya, kemudian melotot sambil menutup hidung melihat adanya kucing putih yang duduk di atas perutnya.

"Gede banget? Emang boleh pelihara sapi di rumah?" Gumam Arkhana, mencoba mengusir namun malah semakin mendusal. "Hush hush! Pergi, cing. Gue-- Hatcim!"

Hatcim!

Hatcim!

"Surga!"

Surga? Ada surga? Mendengar itu Arkha mendadak bingung. Celingukan sambil menatap seisi kamar. Ia ada di surga?

Tetapi fokusnya kembali ketika kucing putih bersih itu diturunkan dan dikeluarkan dari kamar. Lantas selimutnya disibak dan pemuda yang tadi mengeluarkan kucing putih kini duduk di depannya sambil menangkup kedua pipinya membuat Arkhana mau tak mau melipat kakinya.

"Kucingnya dari kapan ada disini? Sesek gak? Astaga sampe merah gini matanya."

Beruntung ada kucing yang membuat kedua matanya berair jadi Arkhana tidak perlu repot-repot mencari jawaban ketika air matanya tiba-tiba jatuh saat mendapat perlakuan yang tiba-tiba seperti ini. Bukan karena bulu kucing itu.

Arkhana mengusap air matanya dengan cepat. "Gue gak apa-apa kok, mas. Cuma hidungnya gatel aja karena kucing itu baru bentar disini."

Ranu tersenyum haru. "Masih inget sama mas, kan?"

"Mas Ranu," jawabnya sambil tersenyum.

"Kalau itu?" Ranu menunjuk Airlangga yang berdiri bersandar pada pintu yang tertutup dengan wajah datar.

"Mas Erlang."

Ranu tanpa malu memeluk adiknya yang seperti baru hilang itu. Arkhana membeku sesaat, tangannya bergerak ragu ingin membalas pelukan hangat mas nya ini namun tetap tidak ada keberanian jadi ia hanya bisa diam menahan pertahanannya agar tidak luruh.

Melihat pemandangan itu Kairo berdecih, kemudian memilih pergi dari kamarnya dan menuju kamar Bachtiar untuk tidur. Sedangkan Erlang tetap berdiri di dekat pintu, kedua matanya tidak berkedip melihat wajah Arkhana. Mengamati perkembangan anak yang terakhir ia temui umur lima tahun sekarang sudah mau kuliah saja.

Terdengar suara berisik di dapur, dari suaranya pasti mas Ranu sedang membuatkan makan malam untuk tamu itu, mereka cepat sekali akrab. Bahkan Kairo mendengar suara tawa lain, yang jelas pasti Arkhana.

Kamar ayahnya ini memang tidak kedap suara, memang didesain seperti itu oleh Ranu atas permintaan langsung oleh Bachtiar agar kalau pria itu mendengar suara genjrengan gitar dari Kairo, Bachtiar akan langsung naik ke atas kemudian memarahinya.

Tapi ternyata Bachtiar tidak punya waktu untuk itu, pria itu sibuk sekali bahkan pulang ke rumah hanya untuk mandi saja kemudian terbang lagi. Diberikan hari libur pun kadang Bachtiar akan mengurusi yang lain. Lagipula kecuali kamar ayahnya, yang lain kedap suara.

Menguntungkan bagi Kairo yang kadang menjerit-jerit karena pusing tugas kuliahnya. Ia tidak masalah dengan kurangnya waktu Bachtiar untuknya, sebagai anak yang pengertian ia harus memahami itu. Kalau kata mas Erlang ia harus bisa mengambil dari sudut pandang lain, tidak hanya satu dan itu menurutnya saja. Jika begitu, maka dinamakan egois.

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang