O4

5.3K 554 34
                                    

Waktu menunjukan pukul empat pagi, Ranu sudah terbangun setengah jam yang lalu kemudian membersihkan diri dan menunaikan kewajibannya. Di antara saudaranya yang lain, dia memang paling produktif. Waktu adalah emas yang tidak boleh disia-siakan. Hidup cuma sekali dan ia tidak mau menyesal di kemudian hari.

Setelah selesai dengan urusan dirinya sendiri, ia menata ranjang, membuka tirai jendela, menyapu lantai, terakhir menyiapkan pakaian untuk kerja nanti.

Melihat dunia masih gelap, bisa dipastikan mas Erlang dan Kairo masih terlelap. Tapi Arkhana sepertinya sudah bangun karena ia mendengar suara grasak-grusuk yang tidak biasa ketika lewat depan kamarnya tadi. Ranu mulai berpikir, ia akan memasak apa ya.

Sebenarnya Ranu tidak percaya diri ketika masakannya dimakan oleh Arkhana, pemuda itu pasti disana makan dengan layak terus dan dimanja dengan masakan mami yang seingatnya enak. Tidak seperti buatannya yang kadang kebanyakan garam atau rasa yang tidak seimbang, Ranu sadar itu, tetapi melihat Arkhana melahap makanan buatannya seolah itu adalah makanan bintang lima membuat Ranu malah terhina.

Anak itu... Pandai sekali menyenangkan orang lain dengan cara membohongi diri sendiri.

Ingin menanyai lagi ingin menu apa untuk sarapan, Ranu melepas sarungnya dan berjalan keluar menuju kamar Arkhana. Semenjak kehadiran pemuda itu, Ranu membatasi jam kerja agar bisa pulang tepat waktu. Dulu tidak peduli dan tidak apa-apa jika harus lembur-lembur. Sekarang sudah tidak, ia selalu kepikiran dengan adiknya itu.

"Arkhana?"

Gelap. Ranu mengernyit, ia kira sudah bangun. Pemuda itu meraba dinding mencari saklar. Pikirnya tidak apa-apa jika ia membangunkan pemuda itu sekalian, memang sudah seharusnya untuk bangun.

"Ar?"

Begitu lampu menyala, dilihatnya Arkhana bergelung di bawah selimut. Tidak seperti orang tertidur karena anak itu terus bergerak kecil dan terlihat tidak nyaman. Tanpa pikir panjang, Ranu menyibak selimut itu. Begitu terkejutnya ia melihat banyak obat tercecer di atas kasur, di samping Arkhana yang meringkuk menekan perut.

"Ar, kenapa?? Kamu sakit? Perutnya sakit?"

Arkhana tersentak, ia menelentangkan tubuhnya dan menatap kaget pada Ranu yang berdiri di sisi ranjangnya.

"Aku gak apa-apa kok, mas."

Kali ini Ranu tidak akan tertipu dengan ucapan itu, dilihat dari bentuk rupa memucat adiknya saja ia sudah tahu kalau anak itu sakit. Ranu duduk, menyibak poni Arkhana yang lepek karena keringat.

"Kenapa gak bilang kalau sakit? Semaleman kamu begini? Jangan bilang sampe gak bisa tidur," Ucap Ranu kesal, ia menyingkirkan tangan adiknya yang mencengkram perut. Bukannya mengelus, Ranu sedikit menekan kuat perut kanan Arkhana.

"Mas, sakit!" Erangnya tertahan.

Ranu menatap khawatir, apalagi anak itu malah mulai menggigil.

"Ke rumah sakit sekarang ya? Mas anter."

"Gak mau, mas." Jawab Arkhana cepat. "Biasa ini, lambung nya kambuh. Minum air anget aja nanti juga sembuh."

"Kamu punya lambung?"

Arkhana menggigit bibir bawahnya kuat, menekan kepalanya kuat karena sensasi berputar malah muncul. "Semua orang juga punya lambung, mas..."

Ranu berdecak, ingin emosi tapi melihat adiknya makin bergerak tidak terkendali membuat ia ikut sakit. Stok obat di rumah habis, mau dirawat di rumah pun sepertinya Arkhana butuh penanganan orang ahli dulu.

"Yang sakit ini?" Ranu menekan sedikit perut sebelah kanan Arkhan lagi, membuat si empunya memekik tertahan. "Katamu lambung tapi yang sakit sebelah kanan??"

BUNGA TIDUR✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang